Selasa, 01 Juli 2025

Kue Coklat yang Tak Pernah Kau Makan



"Adik salah apa, Bang?"
Pertanyaan itu terus terulang di kepalaku, berputar-putar tanpa jawaban, sejak kau tak lagi kembali.

Apa pakaianku tidak pantas saat kita bertemu?
Apa tampilanku tidak sesuai harapanmu?
Atau mungkin caraku bicara?
Atau ternyata… aku memang tak seindah ekspektasimu?

Apa aku sebegitu buruknya?

Padahal aku sangat menyukaimu.
Sudah lama aku tak mengagumi seseorang seperti ini.
Aku suka caramu berbicara,
cara pandangmu yang dewasa,
ceritamu tentang pekerjaan,
tentang harimu,
tentang kebohongan kecilmu yang terlalu kentara itu—tapi tetap membuatku tersenyum.

Aku suka sepenggal kisah kita.
Tutur lembutmu, sikap kekanakanmu, tanggung jawabmu.
Aku suka membayangkan kehidupan pernikahan bersamamu.
Anak-anak bilingual—berbahasa Inggris dan Indonesia.
Kau tertawa, "Abang dulu ketua ekskul bahasa Inggris, dari SMA," katamu bangga.

Aku bahkan membayangkan kita menjelajahi satu per satu kafe di kotaku.
Malam mingguku tak lagi kelabu setelah ada kau dalam angan-angan.

Yang lebih parah, aku menyebut diriku “Adik”, dan memanggilmu “Abang”, seperti kebiasaanmu.
Bukannya merasa risih, aku malah menyukainya.
Percayalah, aku tak pernah merasa se-“Adik” ini pada siapa pun sebelumnya.

Sungguh, aku takut akan akhir yang sama.
Tapi kupu-kupu itu terlanjur beterbangan di dadaku.
Sesaat, aku bahagia dalam ketakutan.

Hingga satu pagi...
Tak ada lagi notifikasi darimu.
Chat malam sebelumnya tak pernah kau balas.
Sehari... dua hari...
Minggu pertama adalah neraka.

Untuk pertama kalinya dalam hidupku,
aku menangis di depan ibuku karena diperlakukan buruk oleh lelaki.
Memalukan, tapi aku sudah tak tahan.
Tangis itu pecah, sesenggukan, di satu pagi yang terasa seperti neraka.
Napas nyaris habis, sesak yang akhirnya tak bisa kutahan lagi.

Saat itu aku sadar—kau tak akan pernah datang makan kue coklat buatanku.
Diam-diam aku menangis, menatap toples yang kusimpan rapi di lemari makan.
Permen yupi yang kupikir bisa kita nikmati bersama, kini terasa getir di lidah, tersangkut di tenggorokan.
Janji untuk menjadwalkan kafe dengan pemandangan pantai pun tinggal angan-angan.

Apa aku pantas diperlakukan seperti ini?
Diabaikan sedingin ini?

Bagian mana dari diriku yang menjijikkan bagimu?

Sungguh, kau patahkan tunas rasaku yang baru tumbuh.
Kau bunuh kejam mawar yang mulai mekar di tepi hatiku.
Kau bakar habis kertas-kertas puisiku, menyisakan abu.

“Ingin mati saja,”
Itu yang terus berputar di kepalaku saat itu.
Tengah malam, saat semua tertidur,
aku menangis dalam diam,
menenangkan kusut di pikiranku sendiri,
menjahit luka dengan tangan gemetar.

Tapi pada akhirnya, aku belajar berdamai.
Aku sadar, bahwa tidak dijelaskan...
adalah bentuk penjelasan paling jelas:
Aku bukan yang kau inginkan.

0 comments: