Aku pernah jadi tenang dalam badaimu.
Pernah jadi hangat di saat dunia menggigilimu.
Kau bilang,
"Makasih, kamu udah selalu ada di saat-saat terburukku."
dan aku tersenyum,
sebab kupikir,
aku rumah.
Kau menatapku, lalu berbisik,
"Kamu orang paling berarti di hidupku tahun ini."
Dan aku percaya, dengan seluruh luka yang belum sembuh, aku percaya.
Tapi kau menusukku pelan-pelan,
bukan dengan pisau,
melainkan dengan pengakuan yang kau ucap seolah tak berdosa:
bahwa kau tidur dengan teman perempuanmu.
Bahwa tubuhmu pernah bersandar pada wanita-wanita lain,
sementara aku,
masih menuliskan namamu di setiap helaan napas.
memujamu seolah kau lelaki suciku yang tak bernoda.
Namun katakan itu tanpa gemetar.
Tanpa getar sesal.
Kau ucap seperti membaca puisi yang tak kau hafal, datar, dingin, seakan jiwaku bukan apa-apa dibanding keinginanmu.
Dan aku
aku yang mencintaimu diam-diam sambil menghapus air mata
tiba-tiba retak dalam diam.
Rasanya seperti tenggelam dalam laut tanpa dasar, menarik napas tapi hanya mendapat garam, merasakan hidup tapi seperti mati perlahan.
Aku ingin hilang malam itu,
ingin menjelma debu,
agar tak lagi sanggup mencintaimu,
agar tak lagi cukup hidup untuk mengenangmu.
Sakit ini bukan sekadar luka,
ini pengkhianatan yang bernafas,
yang tidur di dadaku,
dan berdenyut setiap kali aku mencoba melupakanmu.
Kau ajarkan aku arti “berarti”
lalu menjadikanku tidak penting dalam hidupmu sendiri.
Dan kini,
aku hanya seonggok rindu yang kehilangan tujuan,
sebuah nama yang pernah kau dekap,
lalu kau hancurkan tanpa perasaan.
0 comments:
Posting Komentar