“Jika kamu mendidik satu laki-laki, maka kamu mendidik satu orang. Namun, jika kamu mendidik satu perempuan, maka kamu mendidik satu generasi.” (Moh. Hatta).
Seiring perkembangan zaman dan perempuan mulai dilibatkan dalam pendidikan
yang diawal-awal pendidikan hanya diperuntukkan untuk kaum lelaki saja. Namun
lambat laun pondok pesantren yaitu tempat menimba ilmu agama bagi kaum wanita
mulai di dirikan. Bahkan karena begitu pentingnya pendidikan bagi perempuan
itu, ada sebuah hadits yang menjelaskan. Dari ‘Aisyah radhiallahu’anha: “Janganlah
kalian menyusukan bayi kalian kepada wanita bodoh, karena air susu akan
mewariskan sifat sang ibu” (Bab Syarh Hadits Ar Radha’ah, 1/285)
Di Indonesia khususnya hal ini mulai muncul pertama kali pada tahun
1921 di pesantren Mambaul Ma’arif Denanyar
Jombang. Awalnya pesantren ini hanya di buka untuk lelaki saja, seiring
berjalannya waktu pesantren di buka juga untuk siswa perempuan. Awalnya kelas
Lelaki dan Perempuan ditempatkan dalam satu kelas. Kemudian setelah jumlah murid
perempuan lebih banyak, maka pembelajaran lelaki dan perempuan di pesantren
tersebut di pisahkan. Apa yang dilakukan pesantren Denanyar ini juga diikuti
oleh pe-santren lain yang sebelumnya juga telah mempunyai santri laki-laki
diawal pendirian masing-masing pesantren.
Oleh karena itu untuk membuat pembandingan, perlu bagi kita mengetahui
suasana pembelajaran dan pendidikan bagi perempuan ketika zaman rasulullah.
Secara umum masyarakat akan melihat wanita islam dalam dua sudut
pandang. Diantaranya itu pandangan yang menyatakan bahwa kaum wanita dalam
masyarakat islam tertindas, dan pandangan lain menyatakan bahwa islam
memberikan kepada wanita suatu kedudukan yang tidak ada tandingannya dalam
agama-agama dan kebuadayaan lain.
Bila dianalisa dalam sejarah, terutama pada era rasul dan masa
sahabat, keberadaan wanita sebagai pengembang ilmu pengetahuan, terutama dalam
bidang periwayatan hadits dan hukum islam sangat dipentingkan. Bagaimanapun
sepanjang sejarah kehidupan rasul, beliau hidup di dampingi para istri setia
beliau. Keberadaan istri rasulullah inilah yang dikemudian hari, bahkan pada masa
hidup rasulullah SAW menjadi pilar pendamping pengembang kajian islam, terutama
pada masalah-masalah yang tidak memungkinkan rasulullah SAW untuk
menjelaskannya.
Dalam al-qur’an dan hadits tidak terdapat larangan menuntut ilmu
untuk kaum wanita. Bahkan sebaliknya, islam mewajibkan wanita menuntut ilmu
pengetahuan seperti halnya kepada laki-laki. Agama islam memberikan hak yang
sama bagi laki-laki dan wanita untuk menuntut ilmu pengetahuan. Rasul juga
bersabda, bahwa menuntut ilmu adalah kewajiban bagi muslim laki-laki dan muslim
perempuan.
Nabi SAW berkata didepan jamaah haji yang pertama, “Ketahuilah, Aku
wasiatkan kalian untuk memperlakukan perempuan dengan sebaik-baiknya. Kamu
tidak memiliki mereka sedikitpun, mereka pun tidak memiliki kamu sedikitpun.”
(Diriwatkan oleh Bukhari, Muslim, dan Ahmad)
Nabi menjelaskan hubungan antara laki-laki dan perempuan bukanlah
hubungan kepemilikan, tetepi hubungan cinta kasih sayang, mawaddah wa
rahmah.beliau juga bersabda. “tidak memulyakan perempuan kecuali laki-laki yang
mulia dan tidak merendahkan perempuan kecuali laki-laki yang rendah.” Kata
nabi, “ samakanlah ketika kamu memberi anak-anakmu. Bila ada kelebihan, berikan
kelebihan itu kepada anak perempuan.” Ketika ada sahabat yang mengeluh karena
semuannya anaknya perempuan, nabi berkata, “jika ada orang yang mempunyai anak
perempuan saja, kemudian ia memeliharanya dengan sebaik-baiknya, anak perempuan
itu akan menjadi penghalang baginya dari api neraka.
Pada masa rasulullah SAW, kaum wanita sangat antusias untuk dapat
menghadiri shalat subuh berjamaah di masjid nabawi, karena mereka juga tidak
mau kehilangan kesempatan belajar kepada nabi SAW mereka juga sangat berani
melintas di kegelapan malam untuk bisa sampai ke masjid sebelum fajar
menyingsing, karena mendapat izin dari Allah SWT. Rasulullah SAW Bersabda,
sebagaimana tertuang dalam riwayat berikut ini.
Pada
awal masa Islam tersebut, pendidikan bagi perempuan dilaksanakan di rumah anggota
keluarga mereka sendiri dan dalam waktu tersendiri. Semisal Hafsah, sebelum dan
sesudah menikah dengan Rasulullah, belajar di rumahnya sendiri. Hal ini karena
budaya yang belum ramah bagi perempuan untuk keluar dari rumah sebagai usaha
menuntut ilmu. Di dalam rumah akan lebih terhormat dan berwibawa, karena di
luar rumah keamanan belum terja-min. Anak-anak perempuan hanya menerima
pelajaran dari guru khusus yang datang ke rumahnya sendiri atau rumah
kerabatnya. Bagaimanapun juga pendidikan secara pribadi ini telah berhasil
melahirkan perempuan-perempuan Islam yang kecerdasannya tidak berbeda dengan
kecerdasan laki-laki.
Semasa hidup rasulullah membebaskan perempuan untuk menuntu ilmu bahkan
perempuan diberikan kesempatan oleh rasulullah untuk belajar langsung darinya.
Bahkan ada yang langsung berrtanya langsung kepada Rasulullah. Namun setelahnya
ketika keadaan sudah memungkinkan kaum perempuan sudah bisa belajar islam di
mesjid. Tidak ada pembeda bagi wanita dan perempuan untuk menuntut ilmu kala
itu.
Namun kesempatan perempuan untuk mengikuti pembelajar-an juga masih
dibatasi oleh budaya sekitar, dalam arti tidak bebas begitu saja sebagaimana
laki-laki, terutama setelah Rasulullah wa-fat. Banyak hasil pemikiran para
tokoh pemikir perempuan yang tidak dimunculkan di wilayah publik, sehingga pada
jaman set-lahnya, banyak orang menganggap bahwa perempuan tidak layak untuk
berpendidikan tinggi sebagaimana laki-laki. Pendidikan bagi perempuan masa
klasik tidak banyak ditemukan sejarahnya, namun ada data yang menunjukkan bahwa
perempuan telah ikut menghadiri suatu majelis yang terbuka. Mereka juga diberi
kesempatan untuk bertanya. Dari paparan tersebut dapat dikatakan bahwa
perempuan telah diberi kesempatan, utamanya kesempatan mengakses pendidikan,
meskipun sangat terbatas dan hanya diakses oleh perempuan dalam jumlah yang
sangat sedikit.
Penulis : Safitri Adriani Nasution
0 comments:
Posting Komentar