Kamis, 22 Juli 2021

Menilik Pendidikan Bagi Kaum Perempuan di Masa Rasullullah


“Jika kamu mendidik satu laki-laki, maka kamu mendidik satu orang. Namun, jika kamu mendidik satu perempuan, maka kamu mendidik satu generasi.” (Moh. Hatta).

Seiring perkembangan zaman dan perempuan mulai dilibatkan dalam pendidikan yang diawal-awal pendidikan hanya diperuntukkan untuk kaum lelaki saja. Namun lambat laun pondok pesantren yaitu tempat menimba ilmu agama bagi kaum wanita mulai di dirikan. Bahkan karena begitu pentingnya pendidikan bagi perempuan itu, ada sebuah hadits yang menjelaskan. Dari ‘Aisyah radhiallahu’anha: “Janganlah kalian menyusukan bayi kalian kepada wanita bodoh, karena air susu akan mewariskan sifat sang ibu” (Bab Syarh Hadits Ar Radha’ah, 1/285)

Di Indonesia khususnya hal ini mulai muncul pertama kali pada tahun 1921 di pesantren Mambaul Ma’arif  Denanyar Jombang. Awalnya pesantren ini hanya di buka untuk lelaki saja, seiring berjalannya waktu pesantren di buka juga untuk siswa perempuan. Awalnya kelas Lelaki dan Perempuan ditempatkan dalam satu kelas. Kemudian setelah jumlah murid perempuan lebih banyak, maka pembelajaran lelaki dan perempuan di pesantren tersebut di pisahkan. Apa yang dilakukan pesantren Denanyar ini juga diikuti oleh pe-santren lain yang sebelumnya juga telah mempunyai santri laki-laki diawal pendirian masing-masing pesantren.

Oleh karena itu untuk membuat pembandingan, perlu bagi kita mengetahui suasana pembelajaran dan pendidikan bagi perempuan ketika zaman rasulullah.

Secara umum masyarakat akan melihat wanita islam dalam dua sudut pandang. Diantaranya itu pandangan yang menyatakan bahwa kaum wanita dalam masyarakat islam tertindas, dan pandangan lain menyatakan bahwa islam memberikan kepada wanita suatu kedudukan yang tidak ada tandingannya dalam agama-agama dan kebuadayaan lain.

Bila dianalisa dalam sejarah, terutama pada era rasul dan masa sahabat, keberadaan wanita sebagai pengembang ilmu pengetahuan, terutama dalam bidang periwayatan hadits dan hukum islam sangat dipentingkan. Bagaimanapun sepanjang sejarah kehidupan rasul, beliau hidup di dampingi para istri setia beliau. Keberadaan istri rasulullah inilah yang dikemudian hari, bahkan pada masa hidup rasulullah SAW menjadi pilar pendamping pengembang kajian islam, terutama pada masalah-masalah yang tidak memungkinkan rasulullah SAW untuk menjelaskannya.

Dalam al-qur’an dan hadits tidak terdapat larangan menuntut ilmu untuk kaum wanita. Bahkan sebaliknya, islam mewajibkan wanita menuntut ilmu pengetahuan seperti halnya kepada laki-laki. Agama islam memberikan hak yang sama bagi laki-laki dan wanita untuk menuntut ilmu pengetahuan. Rasul juga bersabda, bahwa menuntut ilmu adalah kewajiban bagi muslim laki-laki dan muslim perempuan.

Nabi SAW berkata didepan jamaah haji yang pertama, “Ketahuilah, Aku wasiatkan kalian untuk memperlakukan perempuan dengan sebaik-baiknya. Kamu tidak memiliki mereka sedikitpun, mereka pun tidak memiliki kamu sedikitpun.” (Diriwatkan oleh Bukhari, Muslim, dan Ahmad)

Nabi menjelaskan hubungan antara laki-laki dan perempuan bukanlah hubungan kepemilikan, tetepi hubungan cinta kasih sayang, mawaddah wa rahmah.beliau juga bersabda. “tidak memulyakan perempuan kecuali laki-laki yang mulia dan tidak merendahkan perempuan kecuali laki-laki yang rendah.” Kata nabi, “ samakanlah ketika kamu memberi anak-anakmu. Bila ada kelebihan, berikan kelebihan itu kepada anak perempuan.” Ketika ada sahabat yang mengeluh karena semuannya anaknya perempuan, nabi berkata, “jika ada orang yang mempunyai anak perempuan saja, kemudian ia memeliharanya dengan sebaik-baiknya, anak perempuan itu akan menjadi penghalang baginya dari api neraka.

Pada masa rasulullah SAW, kaum wanita sangat antusias untuk dapat menghadiri shalat subuh berjamaah di masjid nabawi, karena mereka juga tidak mau kehilangan kesempatan belajar kepada nabi SAW mereka juga sangat berani melintas di kegelapan malam untuk bisa sampai ke masjid sebelum fajar menyingsing, karena mendapat izin dari Allah SWT. Rasulullah SAW Bersabda, sebagaimana tertuang dalam riwayat berikut ini.

Pada awal masa Islam tersebut, pendidikan bagi perempuan dilaksanakan di rumah anggota keluarga mereka sendiri dan dalam waktu tersendiri. Semisal Hafsah, sebelum dan sesudah menikah dengan Rasulullah, belajar di rumahnya sendiri. Hal ini karena budaya yang belum ramah bagi perempuan untuk keluar dari rumah sebagai usaha menuntut ilmu. Di dalam rumah akan lebih terhormat dan berwibawa, karena di luar rumah keamanan belum terja-min. Anak-anak perempuan hanya menerima pelajaran dari guru khusus yang datang ke rumahnya sendiri atau rumah kerabatnya. Bagaimanapun juga pendidikan secara pribadi ini telah berhasil melahirkan perempuan-perempuan Islam yang kecerdasannya tidak berbeda dengan kecerdasan laki-laki.

Semasa hidup rasulullah membebaskan perempuan untuk menuntu ilmu bahkan perempuan diberikan kesempatan oleh rasulullah untuk belajar langsung darinya. Bahkan ada yang langsung berrtanya langsung kepada Rasulullah. Namun setelahnya ketika keadaan sudah memungkinkan kaum perempuan sudah bisa belajar islam di mesjid. Tidak ada pembeda bagi wanita dan perempuan untuk menuntut ilmu kala itu.

Namun kesempatan perempuan untuk mengikuti pembelajar-an juga masih dibatasi oleh budaya sekitar, dalam arti tidak bebas begitu saja sebagaimana laki-laki, terutama setelah Rasulullah wa-fat. Banyak hasil pemikiran para tokoh pemikir perempuan yang tidak dimunculkan di wilayah publik, sehingga pada jaman set-lahnya, banyak orang menganggap bahwa perempuan tidak layak untuk berpendidikan tinggi sebagaimana laki-laki. Pendidikan bagi perempuan masa klasik tidak banyak ditemukan sejarahnya, namun ada data yang menunjukkan bahwa perempuan telah ikut menghadiri suatu majelis yang terbuka. Mereka juga diberi kesempatan untuk bertanya. Dari paparan tersebut dapat dikatakan bahwa perempuan telah diberi kesempatan, utamanya kesempatan mengakses pendidikan, meskipun sangat terbatas dan hanya diakses oleh perempuan dalam jumlah yang sangat sedikit.

 

Penulis : Safitri Adriani Nasution


0 comments: