Senin, 05 Januari 2015

3 Hari Raya



Mak aku lapar” ucap Selvi yang sedari tadi berpegangan pada pinggang ibunya. Pemandangan senja indah di pantai mengiringi perjalanan mereka.
Sabar , mamak juga lapar Selvi”. si ibu menjawab keluhan anak bungsunya,seraya mempercepat laju sepeda motornya,  namun tidak jarang  ia menginjak rem secara tiba-tiba, karena banyaknya sepeda motor yang ingin saling mendahului, terkadang menyalib secara brutal, ya…lalu lalang sepeda motor memang tidak seperti biasanya, karena ini masih 3 hari raya Idul Fitri, sebuah kebiasaan umat islam di daerah ku ketika hari raya, bertamasya ke lokasi wisata ,seperti pantai dan air terjun, tapi pantai adalah yang memdominasi, karena daerah ku bisa di bilang adalah pesisir pantai, tidak kalah kok dengan pantai –pantai lain di nusantara yang tersohor keindahannya, hanya saja kurang kepekaan masyarakat dan pemerintahnya tentang potensi wisatanya, yang menyebabkan pantai-pantai nya kurang terawat.
Hari sudah begitu gelap, suara adzan di mesjid dan surau-surau,bersahut-sahutan. Ibu muda itu masih saja fokus pada sepeda motornya, benar-benar tak menghiraukan seruan para muadzin-muadzin di setiap mesjid-mesjid dan surau-surau.
Mak masih lamanya  kita sampai ? Tanya Yeni  anak sulung Ningsih yang masih duduk di kelas 4 SD.
Nggak Yen… ini udah mau sampai” jawab ibunya acuh tak acuh.
“Mak berhenti saja yok! Selvi udah laper.kita makan di rumah makan itu saja” merengek seraya menunjuk sebuah rumah makan minang di daerah Natal.
“Kau,  makan aja aku pun lapar kok, kau kira kau  saja yang lapar. Ucap Yeni jengkel.
Selvi kau memang mamak pun laparnya ,capek lagi. kau  gak bisa rupanya diam sebentar , kau kira banyak aja duit mamak mu ini ? makan aja pun kita susahnya kau lihat ayahmu itu mana perduli dia sama kita, datang lagi kalian nambah masalah. ucapnya dengan nada tinggi. seorang ibu memarahi anaknya  yang berumur 4 tahun karena anak nya mengajak makan, pasti ada sebab lebih dari pada tak punya uang, baiklah aku akan menceritakanya padamu. Ningsih baru 3 bulan  bercerai dengan suaminya, walaupun secara hukum belum di akui dahulu ia tinggal bersama  suami dan mertuanya di lokasi pemandian air panas, menjual beberapa jenis masakan,minuman dan perkara lain di sekitar pemandian air panas untungnya memang lumayan, apalagi saat hari-hari besar bagaimana tidak?. Kolam pemandian air panas ini adalah milik keluarga suaminya. Setiap hari ningsih berjualan di sekitar pemandian, menyiapkan segalanya sendiri, belum lagi mengurusi anak , ibu mertuanya yang super cerewet dan rumah. yang kebetulan hanya beberapa meter dari  kafe kecil tersebut. Walau dia telah berjuang mati-matian menafkahi mertua suami dan anak-anaknya, tetapi toh masih saja si ibu mertua merasa kurang puas atas materi yang ia dapat, dan menyalahkan mentah-mentah  Ningsih. Sementara suaminya, seperti menutup mata dari apa yang melanda keluarga mereka, bahkan diam-diam di belakang Ningsih suaminya berselingkuh dengan seorang janda muda. Wanita malang ini benar-benar bagaikan budak  mereka.
 Mampus kau, makanya jangan merengek aja kau!” ejek Yeni dengan nada sinis kepada adiknya.
Huwaaaa…..huhuhuhuhuhu…..”Selvi menangis di atas sepeda motor di temani suara burung hantu dan malam yang kian larut.
 “Sudah jangan menangis malu di dengar orang “ hardik ibunya, walau sebenarnya hatinya begitu tersayat.
 Iya udah lah dek diam, ribut kali”. Yeni ikut-ikutan menghardik seperti yang di lakukan ibunya.
 Selvi diam sejenak namun beberapa  detik kemudian dia kembali menangis.
            Untuk yang kedua kalinya ibunya  kembali  memarahi selvi “oh selvi diam lah kau dulu nak, seraya memberhentikan sepeda motornya.kalau gak diam turun kau disini, turun !”. Tetapi Selvi masih tak menghiraukan teguran ibunya. Malah tangisanya kian menjadi-jadi kebiasaan Selvi ketika menangis memang begitu sulit mengatasinya, anak perempuan kecil ini benar-benar menangis dengan sepenuh hati, bayangkan saja andai aku ada disaat itu ketika aku memiliki duit berlebih maka aku akan lari ke kedai membeli permen dan membawanya kepada Selvi,  di luar aku tidak tahu dia lapar, tentu saja  ketika aku tahu ,aku juga tak membelinya karena aku tak punya cukup uang.
 Melihat silvi tak juga diam, maka ningsih menyerah dan membiarkan silvi menangis sesukanya. Ningsih kembali memfokuskan diri pada laju kendaraanya. Keadaan jalan masih ramai pengendara motor yang baru pulang dari tamasyanya. Suasana malam kian pekat, perut lapar ditambah penat membuatnya memacu kendaraan lebih cepat lagi. Beberapa kali hampir menyentuh kendaraan lain bahkan sempat oleng di belokan tajam.
Satu desa yang harus dilewati menuju desa mereka, yaitu desa Pulau Padang. Sampai didesa itu membuat Ningsih merasa bersemangat lagi untuk cepat sampai kerumah. Kendaraan kian riuh dan ramai seakan berlomba-lomba untuk menjadi yang tercepat. Sesekali ia harus memperpelan laju kendaraannya agar tak berserempetan dengan kendaraan lain.
Ningsih melaju kencang diatas  sepeda motorbnya. Selvi dan Yeni sudah tidak terdengar lagi rengekannya.Tiba saatnya melewati jembatan besar yang menghubungkan dua bagian kampung. Jembatan besar ini terlihat sudah sangat rapuh, dengan luas berkisar 5 meter namun untuk jalan pengendara sepeda motor kira-kira hanya selebar satu meter letaknya yang berada diatas ketinggian kurang lebih 10 meter dari permukaan sungai yang besarnya hampir 20 meter dengan kedalaman berpariasi mulai dari 1 meter sampai 10 meter, ditambah lagi alirannya yang deras menambah kesan horor jembatan ini. Para pengendara lain seakan berebut mendahului melewati jembatan itu.  Tanpa pikir panjang , Ningsih yang tak sabaran mencoba mengambil jalan trotoar jembatan yang seharusnya dilalui pejalan kaki karena terlalu pinggir dan dianggap berbahaya.  Belum ada setengah dari panjang jembatan yang harus dilalui ningsih merasa tidak nyaman dengan jalur yang diambilnya, terlalu pinggir  gumamnya. Namun apadaya dia tak bisa turun kejalur sepeda motor karena mengingat banyakmya kendaraan yang berlalu lalang tanpa aturan. membahayakan gumamnya. Ia tetap dijalurnya mengendarai sepeda motor lebih cepat dia berasumsi;  semakin pelan lajunya akan semakin mengerikan.
“Sreekk, gedebuk...”  kereta yang dikendarai ningsih oleng dan terjatuh tepat didaerah paling pinggir jembatan. Beberapa orang yang melihat ikut kaget dan beberapa ada yang menjerit, melihat kejadian itu para warga cepat berlarian mencoba membantu. Dia masih berada diatas sepeda motornya dengan posisi sebelah badan terjepit, dia cepat –cepat mencoba bangkit. Namun kemudian ketika terusik dengan jeritan dan tangisan Yeni yang kini sedang menggantungkan hidupnya  pada pinggiran jembatan dengan aliran deras air sepuluh meter dibawahnya, tangan mungil itu mencoba menyengkram kuat besi-besi usang sialan itu, wajahnya terlihat kaku, pucat seperti mayat, dan air matanya meleleh tak henti diantara suara tangisnya yang tertahan-tahan karena ketakutan yang tak terkirakan. Ningsih cepat berdiri mencoba menolong anaknya, kemudian para warga ikut membantu. Selvi dimana dia  gumam Ningsih kalut
 Jburr....., terdengar samar-samar suara dibawah sana. “Selvi...selvi .....dimana kamu nak?”  Ningsih menjerit histeris  seperti orang gila. “Tolong.....tolong..... anakku....pak anak ku bu.... tolong bu dia jatuh...bu...pak... tolong pak tolong...” jeritnya setengah gila kemudian terjatuh tak sadarkan diri. Beberapa saat kemudian ia sadar, kembali menangis histeris sambil menggeluyur dan meronta diatas jembatan, sambil berteriak-teriak “tunggu mamak nak...mamak datang nolong kamu...”Ningsih tidak bisa menguasai dirinya ia mencoba terjun kedalam sungai namun dihalangi oleh warga, ia menangis lemas terbaring dipinggiran jembatan. kemudian pingsan, dan terbangun dalam kondisi kerasukan, ia menjerit-jerit dan berbicara aneh. Kerasukan hantu penunggu jembatan. Ia bercerita bahwa anaknya dulu pernah terjatuh dan tak ditemukan di sungai itu. Dan sampai saat ini dia selalu mencari anaknya yang hilang disungai itu. Apamau dikata nasi sudah menjadi bubur. Ningsih telah kehilangan anaknya seperti yang terjadi pada hantu penasaran itu.
Ningsih duduk dipinggir jembatan dengan kaki bebas bergelantungan. Tatapan mata sayu dengan lingkaran hitam dibawah matanya ditangannya ada katong plastik dengan sebungkus nasi didalamnya. Kemudian dia berbicara sendiri “ini nak kamu laparkan?,  ini mamak bawa nasi untukmu”.
Jburr.... terdengar seperti suara benda terjatuh 10 meter dibawah sana. Orang-orang berteriak... meminta pertolongan. Ningsih telah memenuhi permintaan anaknya, mak aku lapar.

Related Posts:

0 comments: