“Mak aku lapar” ucap Selvi yang sedari tadi
berpegangan pada pinggang ibunya. Pemandangan
senja indah di pantai mengiringi perjalanan mereka.
“Sabar , mamak juga lapar
Selvi”. si ibu menjawab keluhan
anak bungsunya,seraya mempercepat laju sepeda motornya, namun tidak jarang ia menginjak rem secara tiba-tiba, karena
banyaknya sepeda motor yang ingin saling mendahului, terkadang menyalib secara
brutal, ya…lalu lalang sepeda motor memang tidak seperti biasanya, karena ini
masih 3 hari raya Idul Fitri, sebuah kebiasaan
umat islam di daerah ku ketika hari raya, bertamasya ke lokasi wisata ,seperti
pantai dan air terjun, tapi pantai adalah yang memdominasi, karena daerah ku bisa
di bilang adalah pesisir pantai, tidak kalah kok dengan pantai –pantai lain di
nusantara yang tersohor keindahannya, hanya saja kurang kepekaan masyarakat dan
pemerintahnya tentang potensi wisatanya, yang menyebabkan pantai-pantai nya kurang
terawat.
Hari
sudah begitu gelap, suara adzan di mesjid dan surau-surau,bersahut-sahutan. Ibu
muda itu masih saja fokus
pada sepeda motornya, benar-benar tak menghiraukan seruan para muadzin-muadzin
di setiap mesjid-mesjid dan surau-surau.
“Mak masih lamanya kita sampai ? Tanya Yeni anak sulung Ningsih yang masih duduk di kelas 4 SD.
“Nggak Yen… ini udah mau
sampai” jawab ibunya acuh tak acuh.
“Mak
berhenti saja yok! Selvi udah laper.kita makan di rumah makan itu saja”
merengek seraya
menunjuk sebuah rumah makan minang di daerah Natal.
“Kau,
makan aja aku pun lapar kok, kau kira
kau saja yang lapar. Ucap Yeni jengkel.
“Selvi kau memang mamak
pun laparnya ,capek lagi. kau gak bisa rupanya diam sebentar , kau kira
banyak aja duit mamak mu ini ? makan aja pun kita susahnya kau lihat ayahmu itu
mana perduli dia sama kita, datang lagi kalian nambah masalah”. ucapnya dengan nada
tinggi. seorang ibu memarahi anaknya
yang berumur 4 tahun karena anak nya mengajak makan, pasti ada sebab
lebih dari pada tak punya uang, baiklah aku akan menceritakanya padamu. Ningsih
baru 3 bulan bercerai dengan suaminya, walaupun secara hukum
belum di akui dahulu
ia tinggal bersama suami dan mertuanya
di lokasi pemandian air panas, menjual beberapa jenis masakan,minuman dan
perkara lain di sekitar pemandian air panas untungnya memang lumayan, apalagi saat hari-hari
besar bagaimana
tidak?. Kolam pemandian air
panas ini adalah milik keluarga suaminya.
Setiap hari ningsih berjualan di sekitar pemandian, menyiapkan segalanya
sendiri, belum lagi mengurusi anak , ibu mertuanya yang super cerewet dan
rumah. yang kebetulan hanya beberapa meter dari
kafe kecil tersebut. Walau
dia telah berjuang mati-matian menafkahi mertua suami dan anak-anaknya, tetapi toh masih saja si ibu mertua merasa
kurang puas atas materi yang ia dapat, dan menyalahkan mentah-mentah Ningsih. Sementara suaminya, seperti menutup mata
dari apa yang melanda keluarga mereka, bahkan diam-diam di belakang Ningsih suaminya berselingkuh
dengan seorang janda muda. Wanita malang ini
benar-benar bagaikan budak mereka.
“Mampus
kau, makanya jangan merengek aja kau!” ejek Yeni
dengan nada sinis kepada adiknya.
“Huwaaaa…..huhuhuhuhuhu…..”Selvi menangis di atas sepeda
motor di temani suara burung hantu dan malam yang kian larut.
“Sudah jangan menangis malu di dengar orang “
hardik ibunya, walau sebenarnya hatinya begitu tersayat.
“Iya
udah lah dek diam, ribut kali”.
Yeni ikut-ikutan
menghardik seperti yang di lakukan ibunya.
Selvi
diam sejenak namun beberapa detik
kemudian dia kembali menangis.
Untuk
yang kedua kalinya ibunya kembali memarahi selvi
“oh selvi diam lah kau dulu
nak, seraya memberhentikan sepeda motornya. “kalau
gak diam turun kau disini, turun !”. Tetapi Selvi masih tak
menghiraukan teguran ibunya. Malah
tangisanya kian menjadi-jadi kebiasaan Selvi
ketika menangis memang begitu sulit mengatasinya, anak perempuan kecil ini
benar-benar menangis dengan sepenuh hati, bayangkan saja andai aku ada disaat
itu ketika aku memiliki duit berlebih maka aku akan lari ke kedai membeli
permen dan membawanya kepada Selvi, di luar aku tidak tahu dia lapar, tentu
saja ketika aku tahu ,aku juga tak
membelinya karena aku tak punya cukup uang.
Melihat silvi tak juga diam, maka ningsih
menyerah dan membiarkan silvi menangis sesukanya. Ningsih kembali memfokuskan diri
pada laju kendaraanya. Keadaan jalan masih ramai pengendara motor yang baru
pulang dari tamasyanya. Suasana malam kian pekat, perut lapar ditambah penat
membuatnya memacu kendaraan lebih cepat lagi. Beberapa kali hampir menyentuh
kendaraan lain bahkan sempat oleng di belokan tajam.
Satu desa yang harus dilewati menuju desa mereka, yaitu
desa Pulau Padang. Sampai didesa itu membuat Ningsih merasa bersemangat lagi
untuk cepat sampai kerumah. Kendaraan kian riuh dan ramai seakan berlomba-lomba
untuk menjadi yang tercepat. Sesekali ia harus memperpelan laju kendaraannya
agar tak berserempetan dengan kendaraan lain.
Ningsih melaju kencang diatas sepeda motorbnya. Selvi dan Yeni sudah tidak
terdengar lagi rengekannya.Tiba saatnya melewati jembatan besar yang
menghubungkan dua bagian kampung. Jembatan besar ini terlihat sudah sangat
rapuh, dengan luas berkisar 5 meter namun untuk jalan pengendara sepeda motor
kira-kira hanya selebar satu meter letaknya yang berada diatas ketinggian
kurang lebih 10 meter dari permukaan sungai yang besarnya hampir 20 meter
dengan kedalaman berpariasi mulai dari 1 meter sampai 10 meter, ditambah lagi
alirannya yang deras menambah kesan horor jembatan ini. Para pengendara lain
seakan berebut mendahului melewati jembatan itu. Tanpa pikir panjang , Ningsih yang tak sabaran
mencoba mengambil jalan trotoar jembatan yang seharusnya dilalui pejalan kaki
karena terlalu pinggir dan dianggap berbahaya.
Belum ada setengah dari panjang jembatan yang harus dilalui ningsih
merasa tidak nyaman dengan jalur yang diambilnya, terlalu pinggir gumamnya.
Namun apadaya dia tak bisa turun kejalur sepeda motor karena mengingat banyakmya
kendaraan yang berlalu lalang tanpa aturan. membahayakan
gumamnya. Ia tetap dijalurnya mengendarai sepeda motor lebih cepat dia
berasumsi; semakin pelan lajunya akan semakin mengerikan.
“Sreekk, gedebuk...” kereta yang dikendarai ningsih oleng dan
terjatuh tepat didaerah paling pinggir jembatan. Beberapa orang yang melihat
ikut kaget dan beberapa ada yang menjerit, melihat kejadian itu para warga
cepat berlarian mencoba membantu. Dia masih berada diatas sepeda motornya
dengan posisi sebelah badan terjepit, dia cepat –cepat mencoba bangkit. Namun
kemudian ketika terusik dengan jeritan dan tangisan Yeni yang kini sedang menggantungkan
hidupnya pada pinggiran jembatan dengan
aliran deras air sepuluh meter dibawahnya, tangan mungil itu mencoba
menyengkram kuat besi-besi usang sialan itu, wajahnya terlihat kaku, pucat
seperti mayat, dan air matanya meleleh tak henti diantara suara tangisnya yang
tertahan-tahan karena ketakutan yang tak terkirakan. Ningsih cepat berdiri
mencoba menolong anaknya, kemudian para warga ikut membantu. Selvi dimana dia gumam Ningsih kalut
Jburr....., terdengar samar-samar suara
dibawah sana. “Selvi...selvi .....dimana kamu nak?” Ningsih menjerit histeris seperti orang gila. “Tolong.....tolong.....
anakku....pak anak ku bu.... tolong bu dia jatuh...bu...pak... tolong pak
tolong...” jeritnya setengah gila kemudian terjatuh tak sadarkan diri. Beberapa
saat kemudian ia sadar, kembali menangis histeris sambil menggeluyur dan
meronta diatas jembatan, sambil berteriak-teriak “tunggu mamak nak...mamak
datang nolong kamu...”Ningsih tidak bisa menguasai dirinya ia mencoba terjun
kedalam sungai namun dihalangi oleh warga, ia menangis lemas terbaring
dipinggiran jembatan. kemudian pingsan, dan terbangun dalam kondisi kerasukan,
ia menjerit-jerit dan berbicara aneh. Kerasukan hantu penunggu jembatan. Ia
bercerita bahwa anaknya dulu pernah terjatuh dan tak ditemukan di sungai itu.
Dan sampai saat ini dia selalu mencari anaknya yang hilang disungai itu. Apamau
dikata nasi sudah menjadi bubur. Ningsih telah kehilangan anaknya seperti yang
terjadi pada hantu penasaran itu.
Ningsih duduk dipinggir jembatan dengan kaki bebas
bergelantungan. Tatapan mata sayu dengan lingkaran hitam dibawah matanya
ditangannya ada katong plastik dengan sebungkus nasi didalamnya. Kemudian dia
berbicara sendiri “ini nak kamu laparkan?, ini mamak bawa nasi untukmu”.
Jburr.... terdengar seperti suara benda terjatuh 10 meter
dibawah sana. Orang-orang berteriak... meminta pertolongan. Ningsih telah
memenuhi permintaan anaknya, mak aku
lapar.
0 comments:
Posting Komentar