Hari itu untuk kedua kalinya aku
mengikuti pengajian yang diadakan oleh salah satu organisasi dikampus, pemateri
luar biasa dari organisasi mereka, sebut saja ia sholeh (nama samaran).
Dengan percaya diri dan tanpa rasa takut soleh
menyampaikan argumentasinya disertai dengan dalil-dalil. Ia mampu
mempertahankan pahamnya, mematahkan argumen yang dianggapnya menyimpang, dan
menjawab semua pertanyaan tanpa ragu.
Tema pembahasan umum hari ini adalah
perihal kesesatan salah satu organisasi kampus. Tanpa rasa takut sedikitpun
diraut wajahnya, ia menyampaiakn segala hal buruk yang dianggapnya menyimpang.
Padahal golongan yang dianggapnya menyimpang itu lebih banyak dan lebih eksis
dikampus dari pada golongan mereka.
Dia cerdas. Tidak banyak bicara.
Berani membela kebenaran. Setidaknya itu yang kusaksikan dari dirinya. Sebagai
mahasiswa biasa, dia orang tercerdas yang pernah aku kenal, orang pertama yang
membuatku bertepuk tangan keras dengan sunggingan senyum puas, ketika dia
berhasil menjawab pertanyaan-pertanyaan yang sulit untuk orang awam sepertiku
mengerti. Dia orang terpintar yang kulihat selama aku kuliah di UIN-SU. Kagum.
Aku mengaguminya kecerdasannya. Dia langka. Aku berharap ia menjadi penegak kebenaran,
pembasmi akidah yang terseok di kampusku pada khususnya, mulai hari itu aku
berharap banyak padanya.
***
“kemarin kalian ikut pengajian
******?” tanya teman sekelasku pagi itu
“iya kenapa?”
“siapa yang ngomong?” tanyanya lagi
“bang Soleh, kenapa?”
Dia tak menjawab, hanya
senyum-senyum saja. Ada yang disembunyikan nih. Pikirku.
Selang beberapa saat ia bertanya
lagi. “Gimana dia, kalian bahas apa?”
“Keren, pintar dia orangnya, kami
bahas *** gitu,”
Dia hanya mengangguk. Kemudian
bertanya lagi. “dia bilang *** menghalalkan bersentuhan antara laki-laki dan
perempuan ya?”
“iya...” jawabku sambil menjelaskan
panjang lebar.
“dia sering ngantarin aku pulang
loh”
Sontak aku terdiam, heran, nggak
percaya sama yang aku dengar, “Apa?”
“Iya, dia sering ngantarin aku
pulang, ya macam cowok-cowok biasa, dia pernah megang tangan aku”
“Hah? Iya?” tanyaku lagi.
“tengok sendiri chatnya sama aku
kalo nggak percaya, Munafik dia itu, didepan kalian ya kek gitu, bilangin
jangan gini jangan gitu, dia sendiri begitu” ucapnya.
Ketika mendengar pengakuan seperti
itu, hal pertama yang aku rasakan, adalah tidak percaya, lalu ketika mendapati
kenyataannya memang seperti itu, timbullah rasa kecewa.
Seperti itulah warna-warni
kehidupan. Saat kita bergaul didunia luar. Ada dua kemungkinan yang terjadi,
baik dan buruk. Tentunya perasaan akan menambah warna dari sekian banyak
kenyataan yang kita alami. Dari sekian banyak perasaan itu, kecewa jadi salah
satunya. Kecewa muncul saat kita menaruh pengharapan terhadap seseorang.
Tingkat kekecewaan bisa sangat bervariasi, tergantung sebesar apa
pengharapanmu. Manusia adalah tempat segala sumber kesalahan, dan ketidak
sempurnaan.
Diriwayatkan dalam sebuah hadist dari Imam Ahmad:
“Janganlah kalian merasa kagum
dengan seseorang hingga kalian dapat melihat akhir dari amalnya. Sesungguhnya
ada seseorang selama beberapa waktu dari umurnya beramal dengan amal kebaikan,
yang sekiranya ia meninggal pada saat itu, ia akan masuk ke dalam surga, namun
ia berubah dan beramal dengan amal keburukan. Dan sungguh, ada seorang hamba
selama beberapa waktu dari umurnya beramal dengan amal keburukan, yang
sekiranya ia meninggal pada saat itu, ia akan masuk neraka, namun ia berubah
dan beramal dengan amal kebaikan. Jika Allah menginginkan kebaikan atas seorang
hamba maka Ia akan membuatnya beramal sebelum kematiannya.”
.
0 comments:
Posting Komentar