Seorang pria memanggilku dari balik
pintu kos kami, tanpa basa-basi langsung
bertanya, “Dimana si Mawar (nama samaran) ?”
Aku menjawab santai “Mawar? bentar ya bang! kutengok
dulu,” belum sempat melihat kekamar mawar, kawan satu kos sudah banyak
menjawab, “dia pergi ke tempat bouknya,” kata si A, “Dia udah pergi,” kata si B
lagi, dan disusul jawaban keroyokan dari mereka.
“Nggak
ada dia bang,” jawabku sekenanya.
“Ada
dia itu…”paksanya, aku yang tak pandai membaca situasi, mencoba meyakinkannya
lagi, “Nggak ada lo bang, kutengok lagi ya !” aku kembali melihat kekamarnya,
kutanyakan lagi kepada teman sekamarnya, sengaja kukeraskan volume suaraku,
kemudian kembali berucap kepada pria itu, “Kan nggak ada dia bang.”
“Ada
dia tuh, sembunyi dia kan ?” dia menyolot, kali ini aku tahu, dia sedang marah.
Terjadilah perdebatan kecil antara aku dan dia. Aku kekeuh mempertahankan
jawabanku. Namun dia masih saja tak menerima jikalau mantan pacarnya itu tidak
ada di kos. Merasa gerah dengan ujaran yang tak berimbang itu, Kakak sekamarku
keluar, diikuti beberapa teman kosku yang lain, sempat solot-solotan akhirnya
dia mau mengerti.
Usut
punya usut, begini kronologi kisahnya, ternyata si Mawar dengan si pria ini
sudah putus, masing-masing mereka telah memiliki pacar baru, namun cerita punya
cerita mereka sebenarnya masih saling cinta, si pria yang ego (kurang tahu
detailnya) meminta si Mawar kembali, namun Mawar sudah tak mau lagi, maka si
pria ini pun kesal. Saling balas membalas PM dengan kata-kata yang tak
seharusnya di ucapkan oleh orang yang mencintaimu, menelepon, mencoba mencari
segala hal yang mantan lakukan, intinya si pria terlalu cinta, tidak bisa
menerima kenyataan bahwa orang yang dicintainya telah memiliki seseorang yang
lain yang lebih dicintai oleh mantan pacarnya.
Jadi
teringat quote Tere Liye perihal cinta sejati di dalam novel “Rindu”
“Cinta
sejati adalah melepaskan. Semakin sejati perasaan itu, maka semakin tulus kau
melepaskannya. Persis seperti anak kecil yang menghanyutkan botol tertutup di
lautan, dilepas dengan rasa suka-cita. Aku tahu, kau akan protes, bagaimana
mungkin? Kita bilang itu cinta sejati, tapi kita justru melepaskannya. Tapi
inilah rumus terbalik yang tidak pernah dipahami pencinta. Mereka tidak pernah
mencoba memahami penjelasannya, tidak bersedia.”
Ratapan
perasaan pria akan kepergian kekasihnya itu seperti kutipan puisi sang pujangga
muslim terbesar abad pertengahan Ibnu Hazm El-Andalusy.
Kini
aku kagum pada yang lupa
Dulu
aku kagum pada yang tegar saja
Kulihat
cintamu begitu membara
Namun,
bukan untukku ternyata
Secuplik
kisah, yang katanya percintaan, aku bahkan tak mengerti bagaimana itu bisa
disebut cinta jika dua orang beberapa hari yang lalu masih memanggil rindu
satu-sama lain, kini menjadi musuh mengerikan karena perasaannya tidak dapat
dimenangkan. Tak masuk ke akalku teori cinta itu, bukankah cinta adalah
memberi, seberapa sakitpun ia, melihat bahagia orang yang dicintai adalah
kebahagian tersendiri. Lalu dapat diklasifikasikan sebagai apa? bagaimana kalau
disebut dengan obsesi? Mungkin lebih tepat.
Menurut
Kamus Besar Bahasa Indonesia obsesi adalah gangguan jiwa
berupa pikiran yg selalu menggoda seseorang dan sangat sukar dihilangkan.
Obsesi adalah
keinginan memiliki, mencari-cari kepuasan yang lebih dan cenderung cepat bosan,
dianalogikan kepada anak muda yang menyukai seseorang, dengan segala macam cara,
ia berupaya menjadikannya sebagai pacar, setelah berpacaran dengannya, awalnya
ia memang menyayangi pacarnya itu, namun lama-kelamaan rasa sayang itu akan
berubah menjadi bosan.
Berbeda dengan
obsesi, cinta dianalogikan seperti pasangan suami istri yang hidup bersama
hingga akhir hayat, tulus mendampingi dan saling mengisi.
Begitulah Cinta
ia tulus memberi seperti embun, hadir untuk pergi ia tak mengapa, asalkan sang
daun menghijau segar, esok hari ia akan kembali lagi menemani daun hingga akhir
mentari menguasai.
Jadi, pilih
yang mana berpacaran, atau menjadi sepasang suami istri ?
0 comments:
Posting Komentar