Kamis, 07 Mei 2015

Tulang Komar Kami


         Sunyi malam ini, ditemani temaram lampu minyak ‘colok’[1] begitu orang kampung kami menyebutnya. Gemericik air dari pancur[2] belakang, sampaikan dingin sampai ke teras surau. Angin malam berhembus menusuk masuk kain sarungku, sesekali atap surau merintih pilu diterpa angin malam. Tidak terdengar suara seorangpun di ujung kampung, padahal ini baru pukul 19.00, Sesekali hanya suara jangkrik dari belakang semak-semak panjang dibelakang surau yang memecah keheningan malam.
            Mataku tertumbuk pada tumpukkan Alqur’an dipojok depan surau. Kemudian memalingkan mata pada deretan sajadah yang terbentang. Tulang [3] Komar kami semalam masih sempat dia menyalahkan kajian seorang muridnya yang mengucap huruf hijaiyah ‘fa’ dengan  ‘pa’.
            ‘Pak…’ rotannya melayang menghantam lantai panggung surau kami, “Bah…yang salahnya itu Sangkot… baca yang betul, macam marjagal[4] pege [5]pulak kau bikin di poken[6], ‘pege…pege..pege…,” prakteknya bak pedagang di poken. Mendengar itu maka riuhlah surau dengan gelak tawa anak-anak lain. Kalau sudah begitu biasanya anak-anak akan sibuk memanggil si Sangkot dengan panggilan barulah itu. ‘Pege’. Sampai capek si Sangkot meladeninya. Kalau sudah begitu bisalah berhantam, ramai pulaklah surau itu lagi.
           Pernah suatu ketika ada dua orang anak lelaki berkelahi di pancur, ah… masalahnya pun sepele saja. Gara-gara berebut wudhu. Sampai-sampai berbalik pancur itu. Mendengar ribut-ribut di belakang datanglah Tulang Komar kami tergopoh-gopoh. Mukanya sudah bersemu merah. Biasanya kalau begitu tak ada lagi yang berani menyapanya.
          Dua anak yang berkelahi itu sudah basah kuyup, pancur pun sudah pecah, bambu yang berperan sebagai keran itu telah retak berbela-belah. Anak dua itu diamankanlah ke surau, luka-luka kaki dan tangannya, yang satu lagi biru-biru pulak mukanya.
             Tulang Komar tidak lagi berkata-kata. Diam saja begitulah gusarnya. Dibiarkannya saja kedua anak itu berjalan ke surau, anak-anak yang lain sibuk mencari tahu, ada pulak yang memanas-manasi.
            Keesokan hari, mereka akan datang mengaji seperti biasa. Tak ada lagi bekas perkelahian itu di pancur. Keran Bambunya sudah kembali bagus. Anak-anak sudah tinggal berwudhu saja. Ternyata, Tulang Komar yang menggantinya malam itu juga, pergi kehutan belakang rumahnya mencari bambu berukuran besar untuk berwudhu anak-anak atau orang yang hendak shalat besok. Jangan sampai ada yang terganggu ibadahnya. Begitulah pikirnya. Tak ada sesal dihatinya, semua dilakukannya dengan ikhlas mengharap ridho-Nya.  Pernah suatu ketika aku bertanya kepada Tulang Komar. “Nggak Tulang marahi atau hukum mereka, Tulang?” tanyaku di suatu malam. “Tulang kenapa Tulang sabar sekali menghadapi anak-anak yang nakal-nakal itu, apa untungnya sama Tulang, nggaknya pun dibayar Tulang?” tanyaku lagi.
            “Ah.. Bere[7] Tulang nggak sukalah marah-marahin itu, biar mereka belajar sendiri, karena seharusnya kita memberi contoh, Nabi Muhammad kan seperti itu?” jawabnya pelan. “kalau masalah gaji itu Memang Bere, nggak ada untungnya sama Tulangmu ini tapi…,” jawabnya sengaja menggantung kalimatnya.
            “Tapi apa Tulang?” tanyaku.
        
“Tak tahu Tulang, senang saja telinga Tulang ini mendengar anak-anak kampung  mengucap huruf-huruf hijaiyah kita itu, walaupun seringnya salah-salah, tenang hati Tulang mendengarnya”. Jawabnya sembari tersenyum. Tulus. Tak pernah aku melihat senyum setulus itu.
            “Ikhlas itu nggak ada kata ikhlas di dalamnya Bere,” ucapnya di suatu malam disurau kami. Ketika ku tanya. “Tulang Ikhlas dibayar pakai beras cuma segitu?”  tanyaku heran. Aku menyadari betapa sulit, dan betapa sabarnya Tulang Komar mengajar dan menghadapi anak-anak kampung.
            “Lagian pun Tulang malah rugi kadang ku tengok,” Tambahku lagi.
       Tulang Komar terdiam seperti memikirkan sesuatu kemudian tersungging  senyum tulus diwajahnya.
            Di Huta[8] ini memang banyak orang yang lebih berilmu daripada tulang Komar namun untuk pendidikan anak-anak kampung satu dua yang perduli. Huta kami punya si Porkas yang bacaan qur’annya merundung jiwa, tapi dia lebih memilih mengadu nasib kekota.  Kami juga punya si Mustafa sang sarjanawan Al-Azhar tapi dia lebih memilih Medan daripada Huta yang berjasa.  Kami punya Sari Pada sarjana agama universitas terkemuka,  tapi ia lebih memilih membesarkan uangnya. Namun Tulang Komar yang hanya lulusan SR (Sekolah Rakyat), itu pun hanya kelas 4,  panjang akalnya mengajar anak-anak mengaji dan mengajar agama tanpa pamrih tanpa pilih.
            Aku sempat berpikir apa jadinya bila tidak ada orang seperti Tulang Komar dikampung kami. Mungkin anak-anak kampung tak tahu baca tulis Al-qur’an. Gelap. Gelaplah kampung kami. Jikapun ada yang mengajari mengaji mungkin berbayar, dan sampai kini akupun tak menemui di kampung kami seseorang sesabar dan setulus Tulang Komar.
            Aku tahu orang kampung banyak terbantu atas ketulusan Tulang Komar mengajar mengaji, terlebih lagi warga kurang mampu. Di kampung kami memang ada orang lain yang mengajar mengaji, Haji Lian namanya, tapi ia pun memilih-milih muridnya, murid-murid yang nakal ia tinggalkan meskipun memang tak ada bayaran khusus untuk belajar dengannya. Lain lagi dengan Ustadz Amru, dia  mematokkan bayaran bagi siapa saja yang mengaji padanya. Inilah sebabnya anak-anak kampung tetap saja memilih mengaji dengan Tulang Komar, selain sabar, dia juga tidak menuntut bayaran.      \
            Tokoh-tokoh agama juga banyak di kampung kami, bukannya mendukung Tulang Komar kebanyakan mereka malah menjelek-jelekkannya dan tidak menghormatinya.  Contoh kecilnya jika ada acara- acara kampung. Tulang komar selalu diletakkan dibangku paling belakang bersama dengan warga biasa, bahkan terkadang tidak diundang. Padahal tidak jarang Tulang Komar ikut andil dalam urusan-urusan kampung namun mereka kerap kali mengabaikannya, tapi anak-anak mereka. Mereka taruh juga mengaji di Surau Tulang Komar. Ah… lain-lain saja orang kampung ini.
             Aku tahu Tulang Komar pasti sakit hati, tapi ia pandai menyembunyikannya, tak pernah ku dengar sekalipun ia mengeluh.
            Aku tidak tahu spesifik masalahnya. Waktu peristiwa itu aku masih kanak-kanak. Tapi aku pernah mendengar dari beberapa orang kampung mengenai sifat mereka yang cenderung merendahkan Tulang Komar.
            Tulang Komar punya seorang isteri, ia kerap kali meninggalkan isterinya untuk mengisi pengajian di luar kampung. Suatu ketika isterinya tertangkap  basah berselingkuh dengan pria lain, seluruh warga menyaksikannya. Dan ternyata itu telah dilakukannya berulang kali ketika suaminya pergi. Warga kampung geram dan menuntut agar Tulang Komar menceraikannya. Namun Tulang Komar malah mempertahankan isterinya itu. Dengan alasan, “Setiap orang pernah melakukan kesalahan, bukan berarti dia tidak punya kesempatan”. Sikapnya ini dianggap tidak tegas dan terkesan munafik. “Menceramahi orang kemana-mana isteri sendiri nggak terpelihara, bagaimananya si Komar ini?” seperti itulah cakap warga kampung. Sejak saat itu masyarakat kampung mengasingkannya. Beberapa bulan setelah kejadian itu isteri Tulang Komar malah lari dengan lelaki selingkuhannya. Sontak itu semakin menambah ketidak percayaan masyarakat kampung terhadap Tulang Komar dan tentunya semakin ramailah lagi gunjingan yang ditelannya.
            Sekarang sudah pukul 20.00, sudah masuk isya, aku bergegas menuju pancur untuk berwudhu. Gemericik air bersama bau kesejukan menusuk-nusuk jiwa menghadirkan ruahan rasa.
             Tulang Komar, kemarin sore masih mengajakku mengobrol, di seling bebatuan aliran pancur. Satu katanya yang masih segar dipikiranku. “Bere setiap orang memiliki akhir, kau tahu seperti apa akhir yang paling baik dimata Allah?” tanyanya tiba-tiba.
          “Apanya Tulang ini tumben cerita kayak gini?” aku malah balik bertanya. Tulang Komar hanya tersenyum. “Yang paling baik yang paling takwalah Tulang,” jawabku sekenanya.
            “Yang paling baik adalah yang paling bermanfaat bagi orang lain, akhir yang paling baik itu adalah akhir ketika menyisakan sesuatu yang  bermanfaat bagi orang lain” tuturnya sembari tersenyum ke arahku, hari itu ia terlihat begitu bercahaya diumurnya yang mulai menginjak setengah abad.
            Wajah itu menghadirkan rasa Rindu, sosok menenangkan itu. Sepi menusuk sendi-sendiku, seperti bahan keras menghantam dada. Tak tertahan genangan bening itu ingin tumpah ruah. Sungguh aku Tak menyangka  itu adalah percakapan terakhirku dengan Tulang Komar.
            Aku kembali ke surau untuk melaksanakan shalat isya. Ketika melangkah masuk ke teras surau ingatan itu hadir lagi sosok tulang komar yang tengah asyik mendengarkan kaji anak-anak kampung, dengan rotan panjangg ditangan kanannya, sesekali ia menggaruk kepala di balik lobe [9]hitamnya itu. Tidak jarang ia tertidur sambil duduk. Ketika ia terjaga anak-anak telah heboh bermain, berlari ke sana ke mari.
          Anggo daganakkon da[10]…” ucapnya sambil menggeleng-gelengkan kepala. Hanya begitulah kesalnya Tulang Komar.
            Aku juga seringkali merasa gembira ketika dia menyebutkan namaku disela-sela ceritanya, “Kalian harus menguasai ilmu agama, menuntut ilmu yang tinggi, jangan seperti Tulang lagi, kalian lihat itu abang kalian si Mulkan menghapal qur’an lagi dia,” melihat dia bangga padaku aku merasa bahagia.
            Kelembutan dan kesabarannya itulah yang membuat anak-anak senang dan sayang padanya. Ketika Tulang Komar tak kelihatan di surau, anak-anak akan sibuk mencari-cari Tulang Komar.
            Kepergian Tulang Komar yang tidak disangka-sangka disaksikan oleh seluruh murid-muridnya. Anggukan tangis menghiasi Surau kecil kami  jum’at sore.  Tangisan semakin pecah ketika jenazah Tulang Komar diangkat masuk.  Sejak itu Tulang Komar kami, tak akan kami lihat lagi dengan rotannya esok…esok…esok hari dan esok-esok nya lagi.
                  


[1] Lampu minyak buatan sendiri biasanya menggunakan botol minuman bekas kemudian dibuat sumbu dengan menggunakan bahan bakar minyak tanah.
[2] Keran air besar terbuat dari bambu yang alirannya berasal dari mata air pegunungan.
[3] Panggilan paman dalam pertuturan Mandailing
[4] Berjualan (bahasa mandailing)
[5] Jahe
[6] Pasar (bahasa mandailing)
[7] Panggilan paman kepada keponakan dalam pertuturan Mandailing
[8] Kampung
[9] Kopiah
[10] Anak-anak ini…(bahasa Mandailing)

Related Posts:

0 comments: