Sunyi
malam ini, ditemani temaram lampu minyak ‘colok’[1]
begitu orang kampung kami menyebutnya. Gemericik air dari pancur[2]
belakang, sampaikan dingin sampai ke teras surau. Angin malam berhembus menusuk
masuk kain sarungku, sesekali atap surau merintih pilu diterpa angin malam.
Tidak terdengar suara seorangpun di ujung kampung, padahal ini baru pukul
19.00, Sesekali hanya suara jangkrik dari belakang semak-semak panjang dibelakang
surau yang memecah keheningan malam.
Mataku tertumbuk pada tumpukkan
Alqur’an dipojok depan surau. Kemudian memalingkan mata pada deretan sajadah
yang terbentang. Tulang [3]
Komar kami semalam masih sempat dia menyalahkan kajian seorang muridnya yang
mengucap huruf hijaiyah ‘fa’ dengan
‘pa’.
‘Pak…’ rotannya melayang menghantam
lantai panggung surau kami, “Bah…yang salahnya itu Sangkot… baca yang betul,
macam marjagal[4]
pege [5]pulak
kau bikin di poken[6],
‘pege…pege..pege…,” prakteknya bak pedagang di poken. Mendengar itu maka riuhlah
surau dengan gelak tawa anak-anak lain. Kalau sudah begitu biasanya anak-anak
akan sibuk memanggil si Sangkot dengan panggilan barulah itu. ‘Pege’. Sampai capek
si Sangkot meladeninya. Kalau sudah begitu bisalah berhantam, ramai pulaklah surau itu lagi.
Pernah suatu ketika ada dua orang
anak lelaki berkelahi di pancur, ah… masalahnya pun sepele saja. Gara-gara
berebut wudhu. Sampai-sampai berbalik pancur
itu. Mendengar ribut-ribut di belakang datanglah Tulang Komar kami
tergopoh-gopoh. Mukanya sudah bersemu merah. Biasanya kalau begitu tak ada lagi
yang berani menyapanya.
Dua anak yang berkelahi itu sudah
basah kuyup, pancur pun sudah pecah,
bambu yang berperan sebagai keran itu telah retak berbela-belah. Anak dua itu
diamankanlah ke surau, luka-luka kaki dan tangannya, yang satu lagi biru-biru pulak mukanya.
Tulang Komar tidak lagi
berkata-kata. Diam saja begitulah gusarnya. Dibiarkannya saja kedua anak itu
berjalan ke surau, anak-anak yang lain sibuk mencari tahu, ada pulak yang memanas-manasi.
Keesokan hari, mereka akan datang
mengaji seperti biasa. Tak ada lagi bekas perkelahian itu di pancur. Keran
Bambunya sudah kembali bagus. Anak-anak sudah tinggal berwudhu saja. Ternyata, Tulang
Komar yang menggantinya malam itu juga, pergi kehutan belakang rumahnya mencari
bambu berukuran besar untuk berwudhu anak-anak atau orang yang hendak shalat
besok. Jangan sampai ada yang terganggu ibadahnya. Begitulah pikirnya. Tak ada
sesal dihatinya, semua dilakukannya dengan ikhlas mengharap ridho-Nya. Pernah suatu ketika aku bertanya kepada
Tulang Komar. “Nggak Tulang marahi atau hukum mereka, Tulang?” tanyaku di suatu
malam. “Tulang kenapa Tulang sabar sekali menghadapi anak-anak yang nakal-nakal
itu, apa untungnya sama Tulang, nggaknya
pun dibayar Tulang?” tanyaku lagi.
“Ah.. Bere[7]
Tulang nggak sukalah marah-marahin itu, biar mereka belajar sendiri, karena
seharusnya kita memberi contoh, Nabi Muhammad kan seperti itu?” jawabnya pelan.
“kalau masalah gaji itu Memang Bere, nggak ada untungnya sama Tulangmu ini
tapi…,” jawabnya sengaja menggantung kalimatnya.
“Tapi apa Tulang?” tanyaku.
“Ikhlas itu nggak ada kata ikhlas di
dalamnya Bere,” ucapnya di suatu
malam disurau kami. Ketika ku tanya. “Tulang Ikhlas dibayar pakai beras cuma
segitu?” tanyaku heran. Aku menyadari
betapa sulit, dan betapa sabarnya Tulang Komar mengajar dan menghadapi
anak-anak kampung.
“Lagian pun Tulang malah rugi kadang
ku tengok,” Tambahku lagi.
Tulang Komar terdiam seperti
memikirkan sesuatu kemudian tersungging senyum
tulus diwajahnya.
Di Huta[8]
ini memang banyak orang yang lebih berilmu daripada tulang Komar namun untuk
pendidikan anak-anak kampung satu dua yang perduli. Huta kami punya si Porkas yang bacaan qur’annya merundung jiwa,
tapi dia lebih memilih mengadu nasib kekota.
Kami juga punya si Mustafa sang sarjanawan Al-Azhar tapi dia lebih
memilih Medan daripada Huta yang
berjasa. Kami punya Sari Pada sarjana
agama universitas terkemuka, tapi ia
lebih memilih membesarkan uangnya. Namun Tulang Komar yang hanya lulusan SR (Sekolah
Rakyat), itu pun hanya kelas 4, panjang
akalnya mengajar anak-anak mengaji dan mengajar agama tanpa pamrih tanpa pilih.
Aku sempat berpikir apa jadinya bila
tidak ada orang seperti Tulang Komar dikampung kami. Mungkin anak-anak kampung
tak tahu baca tulis Al-qur’an. Gelap. Gelaplah kampung kami. Jikapun ada yang
mengajari mengaji mungkin berbayar, dan sampai kini akupun tak menemui di kampung
kami seseorang sesabar dan setulus Tulang Komar.
Aku tahu orang kampung banyak terbantu
atas ketulusan Tulang Komar mengajar mengaji, terlebih lagi warga kurang
mampu. Di kampung kami memang ada orang lain yang mengajar mengaji, Haji Lian
namanya, tapi ia pun memilih-milih muridnya, murid-murid yang nakal ia
tinggalkan meskipun memang tak ada bayaran khusus untuk belajar dengannya. Lain
lagi dengan Ustadz Amru, dia mematokkan
bayaran bagi siapa saja yang mengaji padanya. Inilah sebabnya anak-anak kampung
tetap saja memilih mengaji dengan Tulang Komar, selain sabar, dia juga tidak menuntut
bayaran. \
Tokoh-tokoh agama juga banyak di kampung
kami, bukannya mendukung Tulang Komar kebanyakan mereka malah
menjelek-jelekkannya dan tidak menghormatinya. Contoh kecilnya jika ada acara- acara kampung.
Tulang komar selalu diletakkan dibangku paling belakang bersama dengan warga
biasa, bahkan terkadang tidak diundang. Padahal tidak jarang Tulang Komar ikut
andil dalam urusan-urusan kampung namun mereka kerap kali mengabaikannya, tapi
anak-anak mereka. Mereka taruh juga mengaji di Surau Tulang Komar. Ah…
lain-lain saja orang kampung ini.
Aku tahu Tulang Komar pasti sakit hati, tapi
ia pandai menyembunyikannya, tak pernah ku dengar sekalipun ia mengeluh.
Aku tidak tahu spesifik masalahnya. Waktu
peristiwa itu aku masih kanak-kanak. Tapi aku pernah mendengar dari beberapa
orang kampung mengenai sifat mereka yang cenderung merendahkan Tulang Komar.
Tulang Komar punya seorang isteri,
ia kerap kali meninggalkan isterinya untuk mengisi pengajian di luar kampung.
Suatu ketika isterinya tertangkap basah
berselingkuh dengan pria lain, seluruh warga menyaksikannya. Dan ternyata itu
telah dilakukannya berulang kali ketika suaminya pergi. Warga kampung geram dan
menuntut agar Tulang Komar menceraikannya. Namun Tulang Komar malah mempertahankan
isterinya itu. Dengan alasan, “Setiap orang pernah melakukan kesalahan, bukan
berarti dia tidak punya kesempatan”. Sikapnya ini dianggap tidak tegas dan
terkesan munafik. “Menceramahi orang kemana-mana isteri sendiri nggak
terpelihara, bagaimananya si Komar ini?” seperti itulah cakap warga kampung.
Sejak saat itu masyarakat kampung mengasingkannya. Beberapa bulan setelah
kejadian itu isteri Tulang Komar malah lari dengan lelaki selingkuhannya.
Sontak itu semakin menambah ketidak percayaan masyarakat kampung terhadap
Tulang Komar dan tentunya semakin ramailah lagi gunjingan yang ditelannya.
Sekarang sudah pukul 20.00, sudah
masuk isya, aku bergegas menuju pancur
untuk berwudhu. Gemericik air bersama bau kesejukan menusuk-nusuk jiwa menghadirkan
ruahan rasa.
Tulang Komar, kemarin sore masih mengajakku
mengobrol, di seling bebatuan aliran pancur. Satu katanya yang masih segar
dipikiranku. “Bere setiap orang memiliki akhir, kau tahu seperti apa akhir yang
paling baik dimata Allah?” tanyanya tiba-tiba.
“Apanya Tulang ini tumben cerita
kayak gini?” aku malah balik bertanya. Tulang Komar hanya tersenyum. “Yang
paling baik yang paling takwalah Tulang,” jawabku sekenanya.
“Yang paling baik adalah yang paling
bermanfaat bagi orang lain, akhir yang paling baik itu adalah akhir ketika menyisakan
sesuatu yang bermanfaat bagi orang lain”
tuturnya sembari tersenyum ke arahku, hari itu ia terlihat begitu bercahaya
diumurnya yang mulai menginjak setengah abad.
Wajah itu menghadirkan rasa Rindu,
sosok menenangkan itu. Sepi menusuk sendi-sendiku, seperti bahan keras
menghantam dada. Tak tertahan genangan bening itu ingin tumpah ruah. Sungguh aku Tak menyangka itu adalah percakapan terakhirku dengan Tulang
Komar.
Aku kembali ke surau untuk
melaksanakan shalat isya. Ketika melangkah masuk ke teras surau ingatan itu
hadir lagi sosok tulang komar yang tengah asyik mendengarkan kaji anak-anak
kampung, dengan rotan panjangg ditangan kanannya, sesekali ia menggaruk kepala
di balik lobe [9]hitamnya
itu. Tidak jarang ia tertidur sambil duduk. Ketika ia terjaga anak-anak telah
heboh bermain, berlari ke sana ke mari.
“Anggo
daganakkon da[10]…”
ucapnya sambil menggeleng-gelengkan kepala. Hanya begitulah kesalnya Tulang
Komar.
Aku juga seringkali merasa gembira
ketika dia menyebutkan namaku disela-sela ceritanya, “Kalian harus menguasai
ilmu agama, menuntut ilmu yang tinggi, jangan seperti Tulang lagi, kalian lihat
itu abang kalian si Mulkan menghapal qur’an lagi dia,” melihat dia bangga
padaku aku merasa bahagia.
Kelembutan dan kesabarannya itulah
yang membuat anak-anak senang dan sayang padanya. Ketika Tulang Komar tak
kelihatan di surau, anak-anak akan sibuk mencari-cari Tulang Komar.
Kepergian Tulang Komar yang tidak
disangka-sangka disaksikan oleh seluruh murid-muridnya. Anggukan tangis
menghiasi Surau kecil kami jum’at sore. Tangisan semakin pecah ketika jenazah Tulang
Komar diangkat masuk. Sejak itu Tulang
Komar kami, tak akan kami lihat lagi dengan rotannya esok…esok…esok hari dan
esok-esok nya lagi.
[1] Lampu minyak buatan sendiri
biasanya menggunakan botol minuman bekas kemudian dibuat sumbu dengan
menggunakan bahan bakar minyak tanah.
[2] Keran air besar terbuat dari
bambu yang alirannya berasal dari mata air pegunungan.
[3] Panggilan paman dalam pertuturan
Mandailing
[4] Berjualan (bahasa mandailing)
[5] Jahe
[6] Pasar (bahasa mandailing)
[7] Panggilan paman kepada keponakan
dalam pertuturan Mandailing
[8] Kampung
[9] Kopiah
[10] Anak-anak ini…(bahasa
Mandailing)
0 comments:
Posting Komentar