![]() |
www.pexels.com |
Cahaya
terlalu jujur untuk menyembunyikan rinduku padamu
Terimakasih
telah mengirimkan belaian mentari untuk menghangatkanku
Mengganti
wujudmu
Ngit…terimakasih
telah menaungiku
Aksara
rindu yang setiap pagi Kinanti tulis dalam sehelai kertas yang ia rekatkan pada
pohon ara, ia selalu yakin suatu hari Langit akan membaca puisi-puisinya.
Lalu
langit memerintahkan anak-anak hujan turun kebumi, meluruhkan semua aksara
puisi ketanah, bila sudah begini Kinanti akan menengadah kelangit, menciumi
tiap tetesan yang ia yakini rindu kemudian ia aka merasa begitu ringan bak
hujan yang jatuh kebumi. Satu ritual pagi yang ia gemari 3 minggu terakhir ini.
***
Langit
dan Kinanti sering sekali menghabiskan waktu menulis puisi-puisi dibukit kecil
belakang rumah itu, tidak terhitung lagi puisi-puisi mereka lahir dan tumbuh
seiring daun pohoh ara yang kian hari kian lebat.
Kinanti
adalah puisi pertama untuk Langit, dan
Langit adalah puisi terakhir untuk Nanti. Mereka lahir untuk saling
melengkapi. Mereka menulis terus menulis, Nanti tidak pernah mengkhawatirkan
apapun meskipun itu berarti ia harus meninggalkan segalanya agar bersama dengan
Langit. Karena Nanti tahu Langit tidak akan pernah meninggalkannya.
“Langit…aku
meninggalkan keluargaku, mengabaikan agamaku agar bisa bersamamu terus, apa aku
bodoh Ngit ?” tanya Nanti disuatu pagi dibawah kehangatan Langit.
Langit
menatap jauh kejendela mata Nanti, “Tidak Nanti kau tidak bodoh, aku yang bodoh
dengan tanpa sadar membiarkan diriku terus jatuh dalam pelukanmu, hingga kau
tak bisa pergi lagi, harusnya aku yang pergi Nanti agar kau tak merasa perlu
mempertahankanku lagi,” ucap Langit lirih.
“Tidak
Langit, tidak ada yang harus pergi aku telah merelakan kau jatuh dalam pelukku,
begitu juga kau telah merelakan aku menjadi duniamu,” ucap nanti lembut, sambil
mengecup wajah Langit.
Bertahun-tahun
Nanti dan Langit hidup dalam bahagia yang mereka adakan. Tapi adakah
diantaranya yang merasa harus hilang?.
***
Nanti
mencapai bukit terlebih dahulu hal yang tidak biasanya terjadi didunia kecil
mereka, Langit menyusul dari belakang, tersenyum sambil mengecup kening Nanti
lama. Kemudian Langit mengambil daun pohon ara kering, dan memulai menulis
puisi, “Kenapa kau menulisnya di daun Ara Ngit?”
“Daun
kering juga punya hidup Nanti, kau hanya harus memberinya alasan,” ujar Langit
singkat.
Langit
tidak bisa tampak kosong
Ada
cahaya, dan anak hujan, awan, dan jutaan galaksi
Pintu
semesta aku menyebutnya
Buka
dan temukan, mainkan alunan merdumu disana
Kau
sang putri di gugu semesta pulang dan tertawa
Langkah
kecilmu jalan panjangku
Langit,
bukit kita-hari ke-tujuh dibulan hujan
Nanti
membaca puisi Langit, tidak seperti biasanya pagi ini Nanti membenci baris
puisi-puisi itu terutama kata “Pulang”.
“Aku membenci kata pulang Langit, jangan menuliskannya lagi,” Nanti
menepis lembaran daun ara itu, enggan menyentuhnya apalagi membalasnya.
“Nanti
aku akan pergi berangkat sekarang, kau jaga diri baik-baik,” ujar langit
seperti biasa, Nanti masih cemberut, menunjukkan ketidak sukaan atas puisi Langit
pagi ini. Nanti dengan enggan mencium tangan Langit, Langit mengecup kening
Nanti lama. Langit telah siap dengan seragam tukang posnya mengayuh sepeda tua
menjauh meninggalkan rumah mungil, dan bukit kecil mereka, ia tak menoleh sedikit pun. Nanti menyaksikan
punggung Langit menjauh dan menghilang di jalanan yang curam.
Langit
dan sepeda-nya tak urung pulang, malam sudah menyelimuti bumi dan juga
dunia-nya. Tapi bahu lelaki yang dirindukannya itu tak kunjung pulang. Sampai
gemintang berganti mentari. Nanti selalu menunggu pulang Bahu itu. Ia yakin
Langit akan pulang, dan membalas semua puisi-puisinya, bahkan sampai warna
rambutnya berganti. “Pulanglah Ngit, ini rumahmu, pulanglah, sebenarnya aku tak
membenci kata pulan,” bisik Kinanti, bisikan yang lama kelamaan menjadi mantra
untuknya yang merindu.
***
“Lihatlah
Langit pohon ara ini sudah beranak pinak, bahkan daun ara yang kau tulisi itu
kini tumbuh menjadi sebatang pohon subur karena air mata rindu yang menganak
pinak padamu Langit. Puisi yang kau tulis hari itu aku sudah membalasnya
lihatlah pohon ara ini bertebaran kertas disana, kau keliru Langit. aku tidak
bisa bebas seperti ini, kau tidak membukakan gerbang semesta, karena aku semakin
terkurung dalam duniamu jika begini pergimu, aku tidak membenci lagi kata
pulang sungguh,” Kinanti berucap sambil menuliskannya dihelai daun Ara.
Seperti
kebiasaanya Kinanti masih berkecupan dengan cahaya pagi, bercengkrama dengan
Langit. Tapi pagi ini dia tidak ingin menuliskan puisi balasan untuk Langit, ia
akan mengirimnya kepada langit yang lain, langit yang menemaninya selama bertahun-tahun
dibukit kecil ini, langit yang tidak akan meninggalkannya karena mengaku
mencintainya. langit yang selalu mengintipnya sedang bernyanyi-nyanyi kecil
saat menyirami mawar-mawar putih dipekarangan rumah, langit yang memeluknya
hangat saat menekuk sepi. Langit yang tidak akan pernah berbohong. Tidak akan
pernah.
Hai…langit
Terimakasih
untuk telah menaungiku berpuluh tahun ini,
Langit
sama sekali hanya menirumu, dia pembohong besar,
Apakah
baru benar-benar mencintai jika sudah bisa meninggalkan?
Apakah
baru disebut benar-benar mencintai jika
sudah dapat melupakan?
Aku
tahu Langit berbohong
Bahkan
ia menjelma langit pohon ara, bukit, dan rumah kita
Langit
tidak bisa benar-benar pergi
Aku
merasakan hangat napasmu bersatu dengan sinar surya
Aku
mengindera suaramu bersatu dengan desah angin
Aku
melihat rupamu pada senja
Dan
cengkramamu melalui gemintang
Puisi-puisi
rindumu pada hujan, aku tahu semua.
Kau
disini.
Langit tidak
pernah pergi dia hanya menjelma menjadi rindu dan rapat, menjadi sesuatu yang
tidak akan meninggalkanku, sesuatu yang tidak akan kusentuh, menjadi sesuatu
yang tak dapat ku cium aromanya, dia hanya ingin ada dalam ketiadaan, tanpa
perlu dicari ketika pergi, dia hanya mengkekalkan diri.
Kinanti
masih menengadah kelangit pagi itu bersama jutaan anak-anak hujan yang mengecup
wajahnya, setelah anak-anak hujan pulang ke bumi, langit menghadiahkan pelangi.
Langit tersenyum pada Kinanti. Kinanti tersenyum pada langit.
Cerpen ini terinspirasi dari musik video dengan latar bukit kecil berilalang- lagu Puisi - Jikustik
0 comments:
Posting Komentar