Kamis, 30 Maret 2017

Puisi Langit

www.pexels.com



Selamat pagi langit….kau tampak segar pagi ini ! ucap gadis itu pada langit belakang rumah, tepatnya sebuah bukit kecil dengan padang ilalang berteman sebatang pohon ara. Sunyi dan hangat tempat yang tepat untuk berkecupan dengan langit pagi ini.
Cahaya terlalu jujur untuk menyembunyikan rinduku padamu
Terimakasih telah mengirimkan belaian mentari untuk menghangatkanku
Mengganti wujudmu
Ngit…terimakasih telah menaungiku
Aksara rindu yang setiap pagi Kinanti tulis dalam sehelai kertas yang ia rekatkan pada pohon ara, ia selalu yakin suatu hari Langit akan membaca puisi-puisinya.  
Lalu langit memerintahkan anak-anak hujan turun kebumi, meluruhkan semua aksara puisi ketanah, bila sudah begini Kinanti akan menengadah kelangit, menciumi tiap tetesan yang ia yakini rindu kemudian ia aka merasa begitu ringan bak hujan yang jatuh kebumi. Satu ritual pagi yang ia gemari 3 minggu terakhir ini.
***
Langit dan Kinanti sering sekali menghabiskan waktu menulis puisi-puisi dibukit kecil belakang rumah itu, tidak terhitung lagi puisi-puisi mereka lahir dan tumbuh seiring daun pohoh ara yang kian hari kian lebat.
Kinanti adalah puisi pertama untuk Langit, dan  Langit adalah puisi terakhir untuk Nanti. Mereka lahir untuk saling melengkapi. Mereka menulis terus menulis, Nanti tidak pernah mengkhawatirkan apapun meskipun itu berarti ia harus meninggalkan segalanya agar bersama dengan Langit. Karena Nanti tahu Langit tidak akan pernah meninggalkannya.
“Langit…aku meninggalkan keluargaku, mengabaikan agamaku agar bisa bersamamu terus, apa aku bodoh Ngit ?” tanya Nanti disuatu pagi dibawah kehangatan Langit.
Langit menatap jauh kejendela mata Nanti, “Tidak Nanti kau tidak bodoh, aku yang bodoh dengan tanpa sadar membiarkan diriku terus jatuh dalam pelukanmu, hingga kau tak bisa pergi lagi, harusnya aku yang pergi Nanti agar kau tak merasa perlu mempertahankanku lagi,” ucap Langit lirih.
“Tidak Langit, tidak ada yang harus pergi aku telah merelakan kau jatuh dalam pelukku, begitu juga kau telah merelakan aku menjadi duniamu,” ucap nanti lembut, sambil mengecup wajah Langit.
Bertahun-tahun Nanti dan Langit hidup dalam bahagia yang mereka adakan. Tapi adakah diantaranya yang merasa harus hilang?.
***
Nanti mencapai bukit terlebih dahulu hal yang tidak biasanya terjadi didunia kecil mereka, Langit menyusul dari belakang, tersenyum sambil mengecup kening Nanti lama. Kemudian Langit mengambil daun pohon ara kering, dan memulai menulis puisi, “Kenapa kau menulisnya di daun Ara Ngit?”
“Daun kering juga punya hidup Nanti, kau hanya harus memberinya alasan,” ujar Langit singkat.
Langit tidak bisa tampak kosong
Ada cahaya, dan anak hujan, awan, dan jutaan galaksi
Pintu semesta aku menyebutnya
Buka dan temukan, mainkan alunan merdumu disana
Kau sang putri di gugu semesta pulang dan tertawa
Langkah kecilmu jalan panjangku
Langit, bukit kita-hari ke-tujuh dibulan hujan

Nanti membaca puisi Langit, tidak seperti biasanya pagi ini Nanti membenci baris puisi-puisi itu terutama kata “Pulang”.  “Aku membenci kata pulang Langit, jangan menuliskannya lagi,” Nanti menepis lembaran daun ara itu, enggan menyentuhnya apalagi membalasnya. 
“Nanti aku akan pergi berangkat sekarang, kau jaga diri baik-baik,” ujar langit seperti biasa, Nanti masih cemberut, menunjukkan ketidak sukaan atas puisi Langit pagi ini. Nanti dengan enggan mencium tangan Langit, Langit mengecup kening Nanti lama. Langit telah siap dengan seragam tukang posnya mengayuh sepeda tua menjauh meninggalkan rumah mungil, dan bukit kecil mereka,  ia tak menoleh sedikit pun. Nanti menyaksikan punggung Langit menjauh dan menghilang di jalanan yang curam.
Langit dan sepeda-nya tak urung pulang, malam sudah menyelimuti bumi dan juga dunia-nya. Tapi bahu lelaki yang dirindukannya itu tak kunjung pulang. Sampai gemintang berganti mentari. Nanti selalu menunggu pulang Bahu itu. Ia yakin Langit akan pulang, dan membalas semua puisi-puisinya, bahkan sampai warna rambutnya berganti. “Pulanglah Ngit, ini rumahmu, pulanglah, sebenarnya aku tak membenci kata pulan,” bisik Kinanti, bisikan yang lama kelamaan menjadi mantra untuknya yang merindu.
***
“Lihatlah Langit pohon ara ini sudah beranak pinak, bahkan daun ara yang kau tulisi itu kini tumbuh menjadi sebatang pohon subur karena air mata rindu yang menganak pinak padamu Langit. Puisi yang kau tulis hari itu aku sudah membalasnya lihatlah pohon ara ini bertebaran kertas disana, kau keliru Langit. aku tidak bisa bebas seperti ini, kau tidak membukakan gerbang semesta, karena aku semakin terkurung dalam duniamu jika begini pergimu, aku tidak membenci lagi kata pulang sungguh,” Kinanti berucap sambil menuliskannya dihelai daun Ara.
Seperti kebiasaanya Kinanti masih berkecupan dengan cahaya pagi, bercengkrama dengan Langit. Tapi pagi ini dia tidak ingin menuliskan puisi balasan untuk Langit, ia akan mengirimnya kepada langit yang lain, langit yang menemaninya selama bertahun-tahun dibukit kecil ini, langit yang tidak akan meninggalkannya karena mengaku mencintainya. langit yang selalu mengintipnya sedang bernyanyi-nyanyi kecil saat menyirami mawar-mawar putih dipekarangan rumah, langit yang memeluknya hangat saat menekuk sepi. Langit yang tidak akan pernah berbohong. Tidak akan pernah.
Hai…langit
Terimakasih untuk telah menaungiku berpuluh tahun ini,
Langit sama sekali hanya menirumu, dia pembohong besar,
Apakah baru benar-benar mencintai jika sudah bisa meninggalkan?
Apakah baru  disebut benar-benar mencintai jika sudah dapat melupakan?
Aku tahu Langit berbohong
Bahkan ia menjelma langit pohon ara, bukit, dan rumah kita
Langit tidak bisa benar-benar pergi
Aku merasakan hangat napasmu bersatu dengan sinar surya
Aku mengindera suaramu bersatu dengan desah angin
Aku melihat rupamu pada senja
Dan cengkramamu melalui gemintang
Puisi-puisi rindumu pada hujan, aku tahu semua.
Kau disini.
Langit tidak pernah pergi dia hanya menjelma menjadi rindu dan rapat, menjadi sesuatu yang tidak akan meninggalkanku, sesuatu yang tidak akan kusentuh, menjadi sesuatu yang tak dapat ku cium aromanya, dia hanya ingin ada dalam ketiadaan, tanpa perlu dicari ketika pergi, dia hanya mengkekalkan diri.
Kinanti masih menengadah kelangit pagi itu bersama jutaan anak-anak hujan yang mengecup wajahnya, setelah anak-anak hujan pulang ke bumi, langit menghadiahkan pelangi. Langit tersenyum pada Kinanti. Kinanti tersenyum pada langit.

Cerpen ini terinspirasi dari musik video dengan latar bukit kecil berilalang- lagu Puisi - Jikustik



Related Posts:

0 comments: