Ini berawal dari kegiatan aku mengikuti konferensi bersama
rombongan Pusat studi perdamaian yang di pimpin oleh Pak Fuad. Aku
berterimakasih sekali kepada Pak Fuad yang telah begitu baik, membantu kami
mengurus segala tetek bengek mulai dari pasport, persyaratan, tiket, visa dan
juga proposal. Aku yakin perjalanan ini tidak akan terlaksana tanpa Pak Fuad.
Kemudian protokol kami dari IPYG (International Peace Youth Group) yang sangat
ramah dan sabar, yaitu Jane Song aku merindukan dia dan anggotanya yang lain.
Keberangkatan
Setelah berjuang mengumpulkan berkas, mencari dana dengan susah
payah, tidak terlepas juga bantuan keluarga besar aku, Bapak dan Mamak serta
adik, tulang dan ujing dan lainnya. akhirnya Jumat siang kami bertolak dari
kampus UIN SU dengan mengendarai taksi Online bersama delegasi yang merupakan
sahabat dekat aku juga yaitu Atika Winari Putri dengan ditemani oleh Siti
Rogayah dan bersama delegasi lain Siti Aysiah.
Kami beruntung siang ini tidak ada macet, sehingga jarak tempuh
Universitas Islam Negeri Sumatera Utara dengan, Kuala namu International
Airport bisa ditempuh dalam waktu
sekitar 40 menit. Tibalah memeriksa semua bawaan dan barang-barang yang telah
kami kemas. Yah cukup merepotkan, sebab aku harus menggendong ransel yang beratnya
sekitar 5 kilogram dipunggung aku. Well, ini flight pertama aku dan itu
langsung keluar negeri, jadi aku kurang tahu kalau bisa membawa koper jika tak
memesan bagasi. Yah begitulah karena penerbangan kami memang mengharuskan
transit ke KL (Kuala Lumpur) otomatis kami harus menyewa dua kali bagasi, dari
Kualanamu International Airport menuju Kuala Lumpur dan kemudian menuju Incheon
International Airport yang lumayan mahal bagi aku dan rombongan, akhirnya kami
memutuskan untuk memesan bagasi untuk kepulangan saja, walaupun pada akhirnya
kami tidak juga memesan bagasi saat kepulangan.
Setelah melalui pemeriksaan yang panjang, akhirnya kami sampai di
ruang tunggu. dan tidak beruntungnya kami harus menunggu lebih lama karena
keberangkatan pesawat di delay.
Sekitar jam 9 lewat beberapa menit kami pun mengantri untuk
pemeriksaan tiket, sebab peswat akan berangkat. Kami akhrinya mencari seat masing-masing dan alhamdulillah seat aku dari Kuala Namu ke KL adalah
yang paling ujung, dekat dengan jendela, menyenangkan meskipun sedikit deg-deg-an
beruntungnya dua seat disebelah aku adalah teman-teman aku sesama rombongan,
mereka adalah M.Wildan Al-Hafidz dan Ivan Suadi.
Aku sempat sedikit kaget, hingga aku memicingkan mata rapat-rapat
sebab pesawat berguncang, dan memang keadaan cuaca saat itu berawan. Karena
memang jarak tempuh dari Kualanamu menuju Malaysia memang hanya sekitar 30
menit, jadi sebentar saja penerbangan yang penuh goncangan itu berakhirlah
sudah.
Hampir pukul 01.00 dini hari kami sampai di KL. Kembali lagi aku
harus menjinjing dan menggendong ransel beberapa saat, beruntungnya ada keranjang
sorong yang meringankan beban aku. Tapi benar saja, kali ini aku benar-benar
menyesal dan merasa bodoh tidak menggunakan koper untuk bepergian, padahal aku
sudah mempersiapkannya jauh-jauh hari. Sampailah kami diruang tunggu, dan tidak
beruntungnya ruang tunggu tidak terlalu besar jadi tidak semua bisa duduk.
Padahal aku merasa lelah dan satu lagi aku lapar.
Aku dan temanku memutuskan untuk pergi mencari air panas untuk
merebus mi gelas yang kami sengaja sediakan untuk mengganjal perut
sewaktu-waktu kami berada didalam keadaan seperti ini. Kami melewati
lorong-lorong bandara lumayan jauh juga sampai kami menemukan sebuah kran air
panas gratis. Kami membuka mi gelas dan segera merebusnya dengan air panas
tersebut. Setidaknya kelaparan kami sedikit tertolong.
Usai menyantap mi gelas, kami melirik jam, kita harus shalat dulu
ini sebelum berangkat. Kami pun melaksanakan shalat, sebab esok pagi barulah
kami sampai ke Seoul pada pukul 08.00 WIB. Hal yang tidak mengenakkan adalah
saat aku masih dirakaat kedua salah satu anggota rombongan kami Bang Ivan
datang memanggil kami untuk segera kembali sebab pesawat akan segera take
off.
Aku yang masih melaksanakan shalat jujur merasa cemas, kalau-kalau aku
ketinggalan pesawat. Aku tidak berani membayangkan penerbangan aku menuju kota
seribu pesona itu akan gagal. Dalam hati aku merasa dag dig dug juga namun aku
berupaya meredamnya dengan berlari-lari menuju tempat awal.
Pesawat Air Asia tumpangan kami pun akhirnya terbang bebas
diangkasa. Dalam hati aku sibuk sendiri, bagaimanakah rupa Negeri Ginseng yang
hanya mampu aku gambarkan lewat drama korea dan video musik yang kerap aku
tonton di laptop dan televisi itu. Dalam hati aku bertanya akankah indahnya
serupa dengan yang dibangun oleh pikiran aku selama ini. Aku harap ini tidak
mengecewakan, sebab jika ini mengecewakan aku harus rela melepas kesukaan aku
yang telah tumbuh dan tenggelam sejak aku duduk dibangku Sekolah Menengah
Pertama. Sebaliknya jika ternyata Korea lebih memesona dibandingkan yang selama
ini aku bayangkan, aku juga khawatir akan menyebabkan aku menjadi maniak. Maka aku
memilih jalan tengah. Dalam hati aku bergumam sendiri, “Bijak lah hati,
tanggapi semuanya dengan wajar”.
Jam di HP menunjukkan pukul 12.00, beberapa detik lagi aku resmi 21
tahun di pesawat ini. Sebuah keberuntungan besar buat aku. Menggenapkan ulang
tahun aku di udara dibawah kerlap-kerlip lampu dan atap rumah orang-orang yang
sedang lelap. Sebuah ulang tahun yang tak pernah aku bayangkan apalagi
dicita-citakan. Entah mengapa aku lebih senang menyebutnya takdir.
Tiba di Incheon International Airport
Sebab kelelahan setelah melakukan perjalanan seharian, perjalanan
malam menuju Seoul dimanfaatkan dengan sangat baik untuk istirahat. Kegirangan
untuk segera menginjakkan kaki di kota itu, terkalahkan dengan rasa kantuk yang
menyerang. Aku beserta teman-teman lainnya tidur nyenyak, berharap besok saat
membuka mata kami telah sampai ditanah yang sampai saat ini merindukan
perdamaian itu.
Matahari yang cantik mengintip dari ufuk timur, aku benar-benar
jatuh cinta pada sinarnya pagi ini, awan yang bermandikan cahaya mentari
membuat takjub terlebih lagi kini kami terbang diatas langit Korea. Selangkah
lagi aku akan sampai ke negeri itu. Aku cuma bisa menatap diam tanpa suara,
memandanginya jauh dari atas sini, sebuah negeri yang menjadi dambaan banyak
remaja putri di seluruh dunia. Meskipun misi aku dan teman-teman bukanlah untuk
menonton konser K-POP dan sebagainya. Bagi aku ini cukup, dalam hati aku
bersyukur Allah melalu perantara Pusat Studi Perdamaian UIN Sumatera Utara
memberikan aku kesempatan untuk mencari pengalaman dan pengajaran.
Beberapa saat memandangi negeri itu dari ketinggian, aku
benar-benar merekamnya dengan sangat detail dikepala aku, bagaimana negeri itu
memperlihatkan pegunungannya, lautannya, perbukitan, sungai, perumahan, jalan,
perkebunan dan sebagainya. Semua terlihat mengagumkan bagi aku. Diam-diam Aku
tidak henti-henti merasa takjub atas ciptaan-Nya. Aku semakin tidak sabar untuk
menapakkan kaki di tanah negeri itu.
Pemandangan serupa miniatur dibawah sana perlahan membesar dan
sedikit-demi sedikit menjelma menjadi seukuran aslinya dimataku. Tanpa sadar
aku tak bisa menahan perasaan bahagia dan haru yang kini memenuhi relung hatiku,
kurasa perasaanku saat itu benar-benar tergambar jelas di wajahku. Beberapa
saat kemudian pesawat yang kami tumpangi pelan-pelan mendarat. Aku ingat sekali
temanku, “Ini benar kita sudah sampai Korea,” yah bisa dibilang seperti mimpi,
bayangkan baru kemarin rasanya kami, kesana kemari mencari sponsor, mengurus
berbagai macam berkas, hampir putus asa, ditolak, diabaikan oleh orang yang
diharapkan dapat mendukung. Rasa sakit itu kini berubah menjadi rasa haru yang
memenuhi relung hati masing-masing delegasi mahasiswa yang berjuang mendapatkan
sebuah tiket pulang-pergi.
Pesawat mendarat dengan sempurna, saatnya bergegas keluar
pesawat dan melihat rupa negeri ini, begitu aku otakku memberi perintah
pada tubuhku, namun melihat penumpang lain yang juga tergesa-gesa. Aku memilih
untuk mengalah, agaknya mereka punya hal yang harus segera dikejar pikirku
saat itu.
Sesaat setelah semua penumpang yang tergesa-gesa itu keluar, aku
menarik kabin untuk mengambil barang-barang kami. Setelahnya aku keluar bersama
teman-teman rombongan. Mereka kini sama tergesa-gesanya dengan orang-orang itu,
kontan aku juga mengikuti. “Ayo cepat, Jane Song dan yang lainnya sudah
menunggu sejak tadi, kita sudah telat,” kata Pak Fuad. Semua berjalan dengan
cepat sambil menenteng barang masing-masing kemudian berjalan lumayan jauh
untungnya ada eskalator yang mempermudah kami berjalan dengan bawaan yang
menyusahkan. Setelah diangkut oleh kereta listrik bandara. Kami mengalami
pemeriksaan paspor, beruntungnya tidak ada yang kesulitan. Kami pun keluar
dengan tenang mencari protokol yang telah menunggu kami didepan bandara,
seorang wanita bersetelan jas hitam memegangi sebuah kertas yang bertuliskan Abdul
Rozak, Indonesia. Kami bergegas menemuinya, dia menyalami kami semua, kemudian
bertanya “dimana Abdul Rozak,” kami saling berpandangan dengan teman satu
rombongan lainnya, kemudian melihat kebelakang. “Bang Rozak dimana?”.
Bersambung
0 comments:
Posting Komentar