Kamis, 26 Maret 2020

Ceritaku si Calon Gagal



Liburan ini aku ingin sendiri. Menenangkan kepala dengan refreshing. Menyendiri dan mengintropeksi diri sendiri diujung tahun ini, itu yang kubutuhkan. Aku tahu persis itu.

Rencana yang gagal, kebuntuan pikiran dan rasa bosan serta kepenatan dan perasaan yang tak menentu, serta serangkaian pilihan-pilihan yang sulit telah kulalui tahun ini. Di penghujung tahun ini kuharap ada suatu yang indah terjadi padaku, yah sebuah harapan kosong yang mengantarkanku pada sebuah kebetulan yang sangat tak mengenakkan. 2019 ku ditutup dengan merelakan seseorang demi sesuatu yang aku pun tak tahu pasti apa itu. Beruntungnya aku masih punya Tuhan, tempat segala harapan dan keresahan ditumpahkan.

Tapi nyatanya semua rencana dikepalaku melenceng, saat aku telah membuat planning jauh-jauh hari untuk berlibur tak disangka-sangka ortu malah yang ngebet pengen ikutan. Yah, mau gimana lagi. Dalam hati aku bilang, lah yang pengen liburan ini sebenarnya siapa, kok malah mereka yang lebih bersemangat. Kayaknya susah banget untuk membiarkanku sendirian.

Akhirnya tibalah kami di , kedua Sibolga.  Aku, orang tuaku, dua adikku dan seorang kerabat. Kami menghabiskan 1 malam disana. Tapi bukan tentang liburan ini yang ingin kuceritakan melainkan setelahnya.
Semalam sebelum tidur ada yang mengganggu pikiranku, tentang besok kepulangan kami.

Kami bergerak dari sibolga menuju madina, Jarak dari sibolga kerumah kami memang cukup jauh barangkali ada 12 jam. Tapi bukan itu masalahnya. Semua berawal dari sebuah panggilan dari nomor tak dikenal ke HP Bapakku. Dering HP berbunyi berkali-kali, saat itu kami masih di dalam keberangkatan dari rumah menuju Panyabungan. Karena nomor baru Mamak enggan untuk mengangkatnya sebab Bapak sedang memegang kemudi. Tetapi si HP sudah berdering berkali-kali akhirnya Mamak mengangkat panggilan tersebut, dan sialnya kami sedang di Puncak Sitinjak, dimana sinyal susah nyangkut. Terdengar suara perempuan yang terputus-putus dari seberang sana dan akhirnya mati dengan sendirinya. Meski hanya suara bisa ditebak si empunya suara adalah perempuan paruh baya.

Identitas penelepon baru diketahui saat kami sudah sampai di Padang Sidimpuan yaitu di kontrakan adikku. Ternyata suara perempuan itu adalah Ibu-nya. Nya itu adalah seseorang yang tidak terlalu kukenal tetapi sempat menjadi objek pergulatan dipikiranku untuk beberapa saat dengan banyak pertanyaan-pertanyaan.

Sempat kudengar samar-samar dari percakapan itu wanita itu bertanya pada adikku, "Kakak ikut?"
Saat itu kutahu kali ini aku benar-benar tidak sedang beruntung. Aku sedang berpikir bagaimana aku harus bersikap nanti. Saat aku menghadiri acara itu. Aku bingung dan takut bertindak memalukan. Bukan karena aku menyimpan perasaan. Tapi lebih dari itu ini adalah pergulatan mental, sekali lagi keputusanku untuk tetap jomblo di uji.

Apakah pasangannya cantik, kuharap aku lebih cantik, apakah dia begitu romantis pada pasangannya, itu semua membuatku khawatir, entahlah aku tak tahu kenapa perasaan itu muncul yang jelas aku lah yang membuat keputusan disini. Tak sepantasnya aku yang merasa terluka. Aha...atau mungkin aku takut menyesal pernah menolak keluarga itu.

Aku kacau, memikirkannya saja membuatku buntu, yah aku takut menyesal, aku iba pada diriku sendiri. Saat semua orang berani menambatkan hati dan berlabuh di satu mahligai. Sementara aku ragu, takut dan cemas. Barangkali karena egoku masih tinggi, atau memang dia bukan orang yang kucari selama ini.

Ok lanjut ceritanya, dan keesokan harinya masih jadi waktu bersenang-senang. Tapi itu hanya ekspektasi, kenyataannya aku tak berhenti memikirkan apa yang akan terjadi keesokan harinya.

Mau tidak mau suka tidak suka, aku memang sudah terjebak dalam skenario yang sangat dramatik ini. Niat liburan menyenangkan berubah menjadi mimpi buruk yang kikuk. Aku dengan terpaksa harus menghadiri pesta pernikahan cowok yang harusnya jadi pasanganku jika saja aku menyetujuinya terlepas dari semua takdir yang udah Allah skenariokan.

Ini mungkin terdengar sangat ngenes dan sadis, Mamakku sendiri sempat bilang, "Malang Jodohmu," dengan tatapan penuh iba. Hampir aja aku menjatuhkan air mata. Jika saja kami tak liburan, pasti aku tidak akan terpaksa ikut. Dengan jurus menghindar aku pasti gak akan pergi, tapi kalau udah kejadiannya kayak gini. Aku bisa bilang apa, mentok-mentok bilang aku sakit. Dan itu pasti akan sangat mencurigakan. Secara kita jaga image dong ya, kan kita yang gak nerima perjodohan ini mentah-mentah. Entar juga kalian bakal rasain deh gimana rasanya saat ada orang yang serius, apalagi dia datangnya secara tiba-tiba.

Dan tibalah perjalanan kepulangan, hampir pukul 21.00 kami sampai Panyabungan. Satu orang kerabat kami pulang kerumahnya dan kami meneruskan perjalanan. Kali ini keputusan ada ditangan Bapak. Pulang kerumah atau menginap disini karena sudah terlalu larut. Aku sangat berharap pada bapakku kali ini. Please kita pulang aja please. Dalam hati aku mohon-mohon. Dan terjadilah perdebatan kecil antara Mamak Dan Bapak. Mamak yang kekeuh harus ke pesta besok pagi karena gak enak hati dan bahkan menyarankan nginap dirumah empunya pesta karena memang diminta sama si Ibu tadi, sungguh sebuah ide yang sangat bar-bar dan patut diacungin sendal.

Sementara itu Bapak malah pengennya pulang aja, padahal kondisinya kesehatannya memang gak memungkinkan nyetir jarak jauh dimalam hari begini. Dan aku pada akhirnya cuma bisa pasrah disaat yang bersamaan Hp Bapak berdering telepon masuk membabi buta. Sudah kuduga pelakunya pasti Tuo (Uwak). Fyi Tuo ku ini memang dekat sama keluarga kami meskipun dari keluarga jauh.

 Tuo yang kebetulan memang tinggal sendirian dirumahnya yang besar  itu. Sudah berkali-kali juga mengundang kami untuk mengunjungi rumahnya, tapi sering tak bisa karena kesibukan yang mengikat dihati-hari biasa. Segan juga selalu berdalih untuk tak singgah, bahkan dia sudah masak banyak katanya.

Sudah diputuskan akhirnya kami nginap juga. Kulihat adikku sudah berlari kealam mimpi. Suasana sunyi dan tinggal aku yang mengerjap-erjap ditengah gelap, bahkan lampu sudah dimatikan tinggal hatimu yang belum ditenangkan. Aku ambil handphone dan menuliskan draft tulisan ini. Sebuah cara menenangkan hati sendiri.  Sekarang ini aku lebih optimis karena sudah tak ada celah untuk menghindar lagi. Dan disinilah jiwa-jiwa ke cuekan ku yang sudah tersertifikasi bekerja. Bodo amat ah ngantuk. 

Keesokan harinya sekitar pukul 05.30 aku bangun pergi shalat dan sedikit berleha-leha kemudian bersiap. Sialnya aku gugup dan mencoba bersifat bodo amat. Tapi kutahu tak ada yang dipihakku saat ini, barangkali karena tak ada yang pernah merasa, apa yang terjadi padaku. Sakit memang tapi tak apalah memang sudah takdirnya begini. Tak ada yang kebetulan aku selalu percaya itu, dan karenanya aku selalu berani melewati setiap jalan yang menjadi skenarioku. Ku lewati sendiri.

Sulit digambarkan dengan kata-kata perasaanku saat menuju rumah mereka. Aku teringat bagaimana keluarga itu datang lewat adiknya yang berteman baik dengan adikku. Memintaku untuk pertama kalinya saat dia menginap dirumah kami di hari idul fitri untuk beberapa hari. Saat jtu Aku masih sibuk dengan skripsi dan segenggam impian yang kupeluk erat kala itu. Tapi kuabaikan karena kuanggap hanya bercandaan. Orang tuaku tahu dan begitu pun keluargaku. Aku jawab enteng saja aku masih kuliah. Waktu itu Mamakku juga masih membelaku.

Waktu berlalu dan aku tak ambil pusing dengan permintaan itu. Meskipun permintaan itu terus saja menghantui melalui bisikan dan celotehan adikku dan keluarganya. Mamakku pun mulai tampak ragu mengingat kesungguhan keluarga itu. Keluarga baik dan dermawan. Yang membuatku jatuh cinta pada akhirnya. Yah, jujur saja aku memang jatuh cinta kepada keluarganya dari pada anaknya.

Aku perlahan mulai mempertimbangkannya, bahkan dia menungguku sampai wisuda katanya. Yah, Mamaknya sepertinya benar-benar berharap aku jadi menantunya. Hatiku jadi sedih hanya dengan mengingatnya. Tapi aku yang gak tahu diri ini menolak lagi dengan alasan ingin lanjut S2. Yah aku mengecewakan mereka, padahal sampai saat ini aku belum S2 juga hahaha.

Harusnya 2019 kemarin saat hari raya idul adha. Harusnya aku sudah bersanding. Tapi lagi-lagi kutolak mentah-mentah ajakan orang tuanya untuk mengenal lebih jauh keluarga itu dengan martandang dirumahnya (sebuah tradisi suku Mandailing). Harus nya pihak cowok sih, tapi karena dia kerja di luar pulau Sumatera jadi jarang pulang dan gak bisa.

Dan sampailah kami papan bunga berjejeran Di jalan-jalan menuju lokasi pesta. Pesta adat yang khas dengn masayarakat Mandailing. Karena di anak-anak laki-laki satu-satunya jadi pesta dilksanakan dengan meriah dan menyembelih kerbau, pesta juga diiringi musik gordang sambilan. Dan semua hal yang pernah dijanjikan untukku telah ada empunya nya. Sejujurnya aku takut melewatkan seorang yang berharga pada akhirnya. Mengibai diri sendiri bukan saatnya pikirku. Kini aku harus lebih dewasa, bukanakah ini pilhanku.  

Semua masih terekam jelas di kepalaku misalnya Ujaran "calon gagal" dari adikku dan adiknya dilontarkan kepadaku. Dan Aku kesal campur iba, bisa bisanya mereka bercanda padaku, tak tahukah mereka membuat pilihan itu sulit dan mempertahankannya lebih sulit lagi.

Dan yang paling berkesan adalah ucapan Ibunya, saat kupelukkan dengan ucapan selamat. Air mataku nyaris jatuh, aku haru ditengah kerumunan orang. Aku sedih, aku kecewa kenapa Ibu tidak jadi Ibu mertuaku saja. Maafkan aku Bu yang tidak bisa menerima anakmu. Bukan karen dia tidak baik, bahkan dia teramat baik sehingga aku tak perlu khawatir, dia akan mudah mendapatkan jodoh di luar sana. maafkan aku dengan keangkuhanku Bu, aku masih merasa tak puas dengan masa mudaku dan apa yang kulakukan untuk berbakti. Aku menolak karena aku masih belum selesai dengan diriku sendiri. Kalian terlalu berharga untuk menerima semua kesedihan dan keegoisan atas harapan dan impianku. Itu semua adalah apa yang aku ingin sampaikn padanya tapi tidak memungkinkan karena keramaian tamu yang datang.

Tapi ada satu hal yang akan selalu kuingat seumur hidupku, "Semoga kamu bisa dapat jodoh yang lebih baik dari ****i," disitu aku cuma bisa mengucap amin dengan lirih. Aku berharap semua yang baik berlaku padaku. Tentang masa depan yang masih abu-abu.


Sedikit lagi Aku bisa melaluinya ucapku dalam hati ketika kulihat mereka berdua saling bergandengan. Yang kulakukan hanyalah mengeluarkan jurus tak terlihatku dan berubah jadi invisible. Aku sangat ahli apalagi suasana disini sangat ramai. Dan sialnya kenapa mata kami harus bersitatap.

END



0 comments: