Nyanyian Terakhir
Kurangnya kesadaran para masyarakat penganut adat akan pentingnya mengenyam pendidikan setinggi-tingginya untuk kemajuan hidup
oleh: Safitri Adriani Nasution
(Aldon samosir
S.P.d)
Nyanyian terakhir adalah salah satu
cerpen karya Aldon Samosir. S.Pd.
seorang guru SMA dari Sumatera Utara, Balige, yang menjadi peserta lomba menulis cerpen guru bahasa Indonesia se-indonesia
yang di gagas oleh mendiknas tahun 2003 yang kemudian 25 naskah terbaik para
peserta dibukukan.
Cerpen Karya aldon samosir s.Pd ini menceritakan kisah seorang tokoh aku yaitu Monang, siswa SMA yang
berkesempatan meneruskan kuliah ke ITB bebas tes. Namun keinginanya itu tak
berkenan dihati ayah sitokoh aku alias ayah monang. Ayah monang bersikeras agar
anak tunggalnya itu tinggal didesa, dan mengupayakan kemajuan desa mereka yang
miskin.
Monang
tetap berusaha membujuk ayahnya agar meluluskan permohonannya dan berjanji dia
akan kembali membangun desa mereka setelah lulus dari perkuliahan. Namun alasan
monang itu tidak digubris oleh ayah monang, pasalnya semua orang desa yang
belajar dikota dulu juga berjanji akan kembali untuk membangun desa mereka
nyatanya tak ada satupun yang kembali kedesa.
Ayah
monang selaku orang yang dituakan di desa mereka merasa harus bertanggung jawab
atas masa depan desa itu, jadi ayah monang sangat berharap agar anak semata
wayangnya itu meneruskan pembangunan desa terlebih-lebih karena para penduduk
desa hampir seluruhnya telah meninggalkan desa terutama penduduk yang semarga
dengan mereka, hanya tinggal satu keluarga berbeda marga yang merupakan
tetangga mereka. jadi patut saja ayah Monang mendesak Monang untuk
melanjutkan kewajiban ayah Monang
sendiri.
Namun
Monang tetap bersikeras untuk melanjutkan pendidikannya demi bekal memajukan
desa. Dia tidak perduli meskipun ayahnya tidak mengizinkannya dia tetap akan
melanjutkan pendidikannya.
Keputusan
Monang untuk menentang kemauan ayahnya. Membuat kesedihan dan kebimbangan
menggelayuti pikirannya. Ayah monang melampiaskan perasaannya dengan
bermabuk-mabukan dan bernyanyi dilapo. Suatu kebiasaan para bapak-bapak di
daerah tersebut.
Akhirnya
perasaan sayang ayah pada anaknya mengalahkan keegoisan ayah monang. Ia
mengijinkan Monang berkuliah di ITB. Monang sangat bergembira akan keputusan ayahnya
itu. Namun kegembiraan dan sukacita itu hanya dalam hitungan jam telah berubah
menjadi kesedihan yang luar biasa. Ayah Monang meninggal semalam setelah
bermabuk-mabukkan di lapo sambil menyanyikan lagu terakhir sebagai tanda kasih
sayangnya kepada anaknya Monang. “anakkonki hamoraon di ahu”. Itulah sepenggal
lagu yang dinyanyaikan ayah. Yang artinya anak adalah adalah harta yang paling
berharga dan kekayaan yang tak terbeli.
Adat dan kemajuan sering menjadi masalah utama dalam kehidupan
bermasyarakat saat ini. Karena adat dan memiliki sisi yang bertolak belakang,
nyaris tidak bisa dipersatukan, tapi jika ditilik lebih dalam adat dan
kemajuan pendidikan memiliki tujuan yang
sama yaitu kehidupan yang baik. Adat kerap kali berjalan sendiri sehingga suatu
kelompok manusia yang bertahan pada adat
biasanya terbelakang atau kuno, para pemegang adat yang sudah fanatik tentu
saja berusaha keras agar adat yang mereka tetap terjaga.
Kurangnya
kesadaran masyarakat penganut adat akan pentingnya mengenyam pendidikan setinggi-tingginya untuk kemajuan hidup.
Masyarakat
penganut adat dari awal pembukaan cerita bisa kita lihat dari prolog ini
“nenek moyangku , pendiri rumah ini pastilah hebat” aku berbicara
seorang diri. Bentuk rumah yang unik membuat aku menjadi bangga menjadi pewarisnya. Selama puluhan tahun aku
tidak pernah menyadari kehebatan dan keunikan yang ada pada setiap bagian rumah
tempat ayah dan aku dibesarkan.
Pada
percakapan antara ayah dan ibu monang di
bawah ini dapat dilihat bahwa desa
mereka begitu kuno dan miskin . walau kemampuan penulis untuk menarik perhatian
pembaca untuk larut dalam kemiskinan desa itu kurang detail.
“apa? Tahu apa kamu. Kamu tidak pernah memikirkan masa depan kita, masa
depan kampung ini. Dua puluh tahun yang lalu kampung ini dihuni oleh 15 kepala
keluarga. Sekarang rumah-rumah sudah kosong. kita hanya berdua dengan pak
daulat tetangga kita. Monang, anak kita semata wayang , adalah penerus marga
kita dan pewaris kampung ini. Pak Daulat, bukan semarga dengan kita. Mereka
adalah boru. Mereka tidak berhak mewarisi desa ini.”
Kepergian
para penduduk meninggalkan kampung itu merupakan tolak ukur akan terbelakang
dan miskinnya desa itu, itu disebabkan tidak ada tokoh pembaharu di desa, tidak
ada tokoh berpendidikan yang mampu memajukan desa tentunya denagn cara yang
modern, namun ayah Monang tidak menyadari itu, dia masih saja tidak menyetujui
rencana anakanya untuk bersekolah setinggi-tingginya demi
pembangunan desa. Ayah Monang malah lebih condong mengkhawatirkan anaknya yang
tidak akan kembali kedesa dan merasa berkuliah hanya membuang-buang waktu dan
uang saja, karean pada akhirnya Monang juga akan mewarisi desa seperti
percakapan antara monang dan ayah berikut;
“kuliah itu hanya buang-buang uang saja. Tamat belum tetnu dapat
pekerjaan. Apalagi sekarang kuliah itu mahal. Saya tidak sanggup membiayai
kamu. Lihat keadaan kita makan sehari-hari pun sulit, kau tahu itu kan?
“saya bebas testing…”
Ayah sangat
tidak setuju dengan keinginan anaknya itu, jadi dia berkelit dengan berbagai
alasan agar anaknya monang mengurungkan niatnya itu ditambah lagi dengan
mendramatisirkan keadaan. “…lihat keadaan
kita makan sehari-hari pun sulit, kau tahu itu kan?” ini biasanya terjadi
pada seseorang yang merasa posisinya terpojok. Karena yang diketahui pembaca
dari cerita bahwa keluarga monang adalah pewaris di desa itu mereka punya tanah
yang luas.
“…kita punya tanah yang luas. Punya ternak kerbau. Danau toba ini
merupakan suatu anugerah. Ikan-ikannya tak akan pernah habis….”
Jadi
perihal kesusahan keluarga tersebut hanya di lebih-lebihkan oleh tokoh ayah.
Dengan harapan tokoh aku atau monang mengurungkan niatnya itu
Cerpen ini
berakhir menyedihkan, walaupun pada akhirnya ayah monang mengizinkan monang
berkuliah tetapi beberapa jam setelah itu ayah Monang meninggal dunia. akhir
yang mengesankan pembaca, karena salah satu unsur pembentuk cerpen yang baik
adalah akhir yang berkesan.
Penulis juga mengingatkan kita
kembali akan kematian, lewat ayah Monang yang meninggal dunia dengan cara yang
mendadak.
Jika dibandingkan dengan cerpen ‘robohnya punden desa kami’ ternyata
cerpen ini memiliki beberapa kesamaan. Yang pertama menceritakan bagaimana
masyarakat yang percaya pada adat nenek moyang begitu menentang masuknya ilmu,
sehingga terus terkungkung dalam kebodohan. Tak disangka-sangka diakhir cerita
salah satu tokoh berpengaruh didesa meninggal dalam keadaan yan mengenaskan,
begitu pula dengan cerpen nyanyian
terakhir yang pada akhirnya ayah Monang meninggal dunia secara mendadak.
0 comments:
Posting Komentar