Saat
libur sekolah tiba. aku biasanya
menghabiskan liburan dirumah ompung. Aku rajin shalat berjamaah dimushalla
ujung kampung. Dulu bangunannya masih belum selesai, lantainya juga masih semen
kasar. Mushalla itu memang kurang ramai, mungkin karena letaknya yang sedikit
jauh, ditambah lagi ada mesjid yang menjadi nomor satu, apapun yang jadi
alasannya, aku harap bukan karena masyarakatnya memang tidak mau memakmurkan
mesjid.
Dia
imam mushalla selama aku shalat berjamaah dimushalla, aku senang mendengarnya
melantunkan ayat suci, yang aku tidak hapal, bahkan aku tidak pernah
mendengarnya. Terkadang aku mengeluh, “panjang kali bacaan uda’ mu, capek aku
berdiri” gerutuku pada Saniah. Tapi hal seperti itu tidak menyurutkan
semangatku untuk memaksa saniah menemani shalat berjamaah kemushalla, sesekali
bahkan aku mencuri waktu untuk melihat wajahnya.
Suatu hari
Ujingku yang penyayang berubah sedikit menyebalkan, mereka selalu saja
mengatakan hal yang aku tidak suka, bahkan lama kelamaan membuatku malu
mengambil air ke tobat. Lama kelamaan aku tidak mau disuruh membeli keperluan
kewarungnya, dan untuk pertama kalinya mereka maklum.
Ibuku juga
menjadi suka bertanya hal yang aku kurang paham, “seberapa hapalannya?”,
dan tak pernah kulihat ibuku begitu bersimpati pada orang lain sebelumnya.
Aku menjadi
tidak nyaman namun beberapa kali aku tersenyum-senyum sendiri saat
mengingatnya.
Liburan
telah berlalu, aku akan menjadi murid baru di sekolah menengah pertama satu-satunya
didesaku. Aku masih kurang paham mengapa ibu dan ayahku yang begitu bersimpati
pada wajah teduh peci dan sarung, namun mereka tidak mengirimku bersama
populasi mereka. Pesantren, padahal aku sudah bilang aku menginginkannya.
Aku berjilbab
sekadarnya sekarang, ibu dan ompung bilang aku harus, maka aku memakainya,
namun terkadang aku masih tidak segan melepaskannya.
Lambat laun
aku mulai mengerti mengapa aku suka tersenyum sendiri saat sebuah nama
diucapkan, bahkan aku suka gugup bila seseorang teman lelaki menyapaku.
Libur sekolah
adalah saat yang kutunggu-tunggu alasanku adalah mengunjungi rumah ompung di
kampung, namun belakangan aku punya alasan yang tak berani aku ucapkan.
Fajar
… aku kini berani menulisnya dalam sebait sajak.
***
Tahun pertamaku
menginjak bangku kuliah banyak kabar yang kudapati, tidak lama setelah sekolah
menengah atas Saniah meninggalkan kampung menuju Palembang. Ujingku juga akan melangsungkan pernikahan syawal
ini, anehnya dia seperti menyembunyikan acara pernikahanyya dariku.
Aku sudah
berumur 19 tahun dan berjilbab, aku tidak lagi segan memakai ‘jilbab ibu-ibu’,
begitu adikku menyebutnya, meski bukan tamatan pesantren, aku sudah mengerti
mengapa wanita perlu mengulurkan jilbabnya keseluruh tubuh. Aku mendapatkannya
dari sebuah wajihah bernama Rohani Islam atau Rohis disaat aku duduk di bangku
SMA di kota yang jauh dari desa ompung dan mamak bapkku, tapi aku lebih suka menamainya sekolah kedua. Aku
terkadang berpikir bahwa ini adalah jawaban dari semua harapanku sewaktu SD.
Aku pulang
kekampung, beberapa hari lagi sudah masuk idul fitri. Masih Fajar aku sudah
sampai di desa nenek., jembatan yang
menghubungkan desa seberang dan desa nenekku sudah dilewati mobil travel yang
kutumpangi. Memasukki jalan-jalan desa hatiku berdetak tidak karuan, aku
membayangkan wajah keriput ompung yang tersenyum padaku, kemudian gurauan
ujingku, aku menerka-nerka wajah calon suaminya, dan sekilas bayangan wajah
seseorang lelaki berkopiyah hitam lewat dibenakku, “seperti apa wajahnya
sekarang ya? Lama juga tak melihatnya”. gumamku, kurasakan pipiku
menghangat. “astagfirullahaladzim” ucapku kemudian.
Hampir sampai
dirumah ompung, mobil travel yang kami kendarai melewati sebuah mushalla
diujung kampung, kepalaku keluar dari mobil, ingin menyaksikan dengan seksama
keadaan mushalla itu kini, “ah sudah cantik” gumamku, anehnya aku malah
berharap dia seperti dulu, jika seperti itu mungkin kenangan lucuku tetap
terjaga dengan rapi. “ah pemirikan macam apa itu” ucapku membatin. seorang
pria berkopiyah hitam dengan setelan baju koko lengkap dengan kain sarungnya
keluar dari mushalla, kulihat wajahnya berseri-seri, hatiku berdesir, aku
bersembunyi dibalik kaca mobil berwarna hitam. Dan memilih mengintipnya dari
dalam mobil, mobil kami telah melewati mushalla itu, aku membalikkan kepala
seakan tak rela melepaskan pandangan, namun setelahnya aku tak mau lagi melihat
apa-apa.
“Aku disini? yang disisinya bukan aku”.
Jadi ini sebab keluargaku tidak menginginkan aku pulang ke desa
ompung.
***
Wajah bahagianya
terbayang terus dibenakku. Dia menggandeng seorang wanita, dan itu bukan aku. “bagaimana
mungkin seorang gadis berumur 19 tahun dilihat oleh seorang pria mapan berumur
25 tahun, aku yakin siapapun perempuan pasti menginginkan lelaki sepertinya,”
aku membatin, rasanya malam ini aku tidak dapat tidur, meskipun tidur dikaki
ompung adaboruku biasanya aku dengan mudah tertidur seperti itu. Aku sudah
mencobanya, tapi aku tetap tak dapat tidur malam itu, ompungku menyadari kegelisahanku.
“apa yang kau
pikirkan dik?” tanya ompung adaboru.
Aku membisu
Tidak terasa
air mataku meleleh juga, Ompungku panik. “kau kenapa ? tanyanya.
Aku masih
tidak menjawab, malah terus menangis
Namun Ompungku tidak berkata apa-apa lagi, dia hanya
malah mengelus-elus rambutku, sampai aku lelah dan terlelap.
Tengah malam
aku terbangun dan shalat tahajjud, aku berdoa sepenuh hati, berharap sang maha
cinta mengampuni kehinaanku, masih air mata itu meleleh dipipiku, rasanya
hatiku seperti digores sembilu. Dalam tangisku aku juga berdoa agar
pendampingya adalah wanita yang jauh lebih baik dariku, yang dapat memberikan
syurga dirumah tangga yang mereka bina. “sungguh aku ikhlas ya Rabb, tapi
ijinkan aku menangis hari ini saja”.
Hamparan
sawah menghijau dibelakang rumah ompung
aku memilih pondok sawah untuk menyaksikan fajar pagi itu. Dalam selarik kertas
kutuliskan “embun fajar”.
Fajar adalah pertanda bahwa satu lagi hari yang sulit telah
terlewati.
sinarnya yang memecah gelap selalu dinanti
begitu juga dengan embun
meski harus ada untuk sirna ketika tiba yang dicintainya, ia tak
mengapa
begitulah caranya mencinta
Aku meresapi
betul-betul hangat mentari yang menyusup keseluruh tubuh. Ini akan menjadi
sajak terakhir tentang embun dan fajar yang tidak ditakdirkan untuk bersama.
***
0 comments:
Posting Komentar