Sabtu, 22 Agustus 2015

Embun Fajar


                Saat libur sekolah tiba.  aku biasanya menghabiskan liburan dirumah ompung. Aku rajin shalat berjamaah dimushalla ujung kampung. Dulu bangunannya masih belum selesai, lantainya juga masih semen kasar. Mushalla itu memang kurang ramai, mungkin karena letaknya yang sedikit jauh, ditambah lagi ada mesjid yang menjadi nomor satu, apapun yang jadi alasannya, aku harap bukan karena masyarakatnya memang tidak mau memakmurkan mesjid.
                Dia imam mushalla selama aku shalat berjamaah dimushalla, aku senang mendengarnya melantunkan ayat suci, yang aku tidak hapal, bahkan aku tidak pernah mendengarnya. Terkadang aku mengeluh, “panjang kali bacaan uda’ mu, capek aku berdiri” gerutuku pada Saniah. Tapi hal seperti itu tidak menyurutkan semangatku untuk memaksa saniah menemani shalat berjamaah kemushalla, sesekali bahkan aku mencuri waktu untuk melihat wajahnya.
                Suatu hari Ujingku yang penyayang berubah sedikit menyebalkan, mereka selalu saja mengatakan hal yang aku tidak suka, bahkan lama kelamaan membuatku malu mengambil air ke tobat. Lama kelamaan aku tidak mau disuruh membeli keperluan kewarungnya, dan untuk pertama kalinya mereka maklum.
                Ibuku juga menjadi suka bertanya hal yang aku kurang paham, “seberapa hapalannya?”, dan tak pernah kulihat ibuku begitu bersimpati pada orang lain sebelumnya.
                Aku menjadi tidak nyaman namun beberapa kali aku tersenyum-senyum sendiri saat mengingatnya.
                Liburan telah berlalu, aku akan menjadi murid baru di sekolah menengah pertama satu-satunya didesaku. Aku masih kurang paham mengapa ibu dan ayahku yang begitu bersimpati pada wajah teduh peci dan sarung, namun mereka tidak mengirimku bersama populasi mereka. Pesantren, padahal aku sudah bilang aku menginginkannya.
                Aku berjilbab sekadarnya sekarang, ibu dan ompung bilang aku harus, maka aku memakainya, namun terkadang aku masih tidak segan melepaskannya.
                Lambat laun aku mulai mengerti mengapa aku suka tersenyum sendiri saat sebuah nama diucapkan, bahkan aku suka gugup bila seseorang teman lelaki menyapaku.
                Libur sekolah adalah saat yang kutunggu-tunggu alasanku adalah mengunjungi rumah ompung di kampung, namun belakangan aku punya alasan yang tak berani aku ucapkan.
                Fajar … aku kini berani menulisnya dalam sebait sajak.
                                                                                                ***
                Tahun pertamaku menginjak bangku kuliah banyak kabar yang kudapati, tidak lama setelah sekolah menengah atas Saniah meninggalkan kampung menuju Palembang.  Ujingku juga akan melangsungkan pernikahan syawal ini, anehnya dia seperti menyembunyikan acara pernikahanyya dariku.
                Aku sudah berumur 19 tahun dan berjilbab, aku tidak lagi segan memakai ‘jilbab ibu-ibu’, begitu adikku menyebutnya, meski bukan tamatan pesantren, aku sudah mengerti mengapa wanita perlu mengulurkan jilbabnya keseluruh tubuh. Aku mendapatkannya dari sebuah wajihah bernama Rohani Islam atau Rohis disaat aku duduk di bangku SMA di kota yang jauh dari desa ompung dan mamak bapkku, tapi aku  lebih suka menamainya sekolah kedua. Aku terkadang berpikir bahwa ini adalah jawaban dari semua harapanku sewaktu SD.
                Aku pulang kekampung, beberapa hari lagi sudah masuk idul fitri. Masih Fajar aku sudah sampai di desa nenek.,  jembatan yang menghubungkan desa seberang dan desa nenekku sudah dilewati mobil travel yang kutumpangi. Memasukki jalan-jalan desa hatiku berdetak tidak karuan, aku membayangkan wajah keriput ompung yang tersenyum padaku, kemudian gurauan ujingku, aku menerka-nerka wajah calon suaminya, dan sekilas bayangan wajah seseorang lelaki berkopiyah hitam lewat dibenakku, “seperti apa wajahnya sekarang ya? Lama juga tak melihatnya”. gumamku, kurasakan pipiku menghangat. “astagfirullahaladzim” ucapku kemudian.
                Hampir sampai dirumah ompung, mobil travel yang kami kendarai melewati sebuah mushalla diujung kampung, kepalaku keluar dari mobil, ingin menyaksikan dengan seksama keadaan mushalla itu kini, “ah sudah cantik” gumamku, anehnya aku malah berharap dia seperti dulu, jika seperti itu mungkin kenangan lucuku tetap terjaga dengan rapi. “ah pemirikan macam apa itu” ucapku membatin. seorang pria berkopiyah hitam dengan setelan baju koko lengkap dengan kain sarungnya keluar dari mushalla, kulihat wajahnya berseri-seri, hatiku berdesir, aku bersembunyi dibalik kaca mobil berwarna hitam. Dan memilih mengintipnya dari dalam mobil, mobil kami telah melewati mushalla itu, aku membalikkan kepala seakan tak rela melepaskan pandangan, namun setelahnya aku tak mau lagi melihat apa-apa.
Aku disini? yang disisinya bukan aku”.
Jadi ini sebab keluargaku tidak menginginkan aku pulang ke desa ompung.
***
                Wajah bahagianya terbayang terus dibenakku. Dia menggandeng seorang wanita, dan itu bukan aku. “bagaimana mungkin seorang gadis berumur 19 tahun dilihat oleh seorang pria mapan berumur 25 tahun, aku yakin siapapun perempuan pasti menginginkan lelaki sepertinya,” aku membatin, rasanya malam ini aku tidak dapat tidur, meskipun tidur dikaki ompung adaboruku biasanya aku dengan mudah tertidur seperti itu. Aku sudah mencobanya, tapi aku tetap tak dapat tidur malam itu, ompungku menyadari kegelisahanku.
                “apa yang kau pikirkan dik?” tanya ompung adaboru.
                Aku membisu
                Tidak terasa air mataku meleleh juga, Ompungku panik. “kau kenapa ? tanyanya.
                Aku masih tidak menjawab, malah terus menangis
                Namun  Ompungku tidak berkata apa-apa lagi, dia hanya malah mengelus-elus rambutku, sampai aku lelah dan terlelap.
                Tengah malam aku terbangun dan shalat tahajjud, aku berdoa sepenuh hati, berharap sang maha cinta mengampuni kehinaanku, masih air mata itu meleleh dipipiku, rasanya hatiku seperti digores sembilu. Dalam tangisku aku juga berdoa agar pendampingya adalah wanita yang jauh lebih baik dariku, yang dapat memberikan syurga dirumah tangga yang mereka bina. “sungguh aku ikhlas ya Rabb, tapi ijinkan aku menangis hari ini saja”.
                Hamparan sawah menghijau dibelakang  rumah ompung aku memilih pondok sawah untuk menyaksikan fajar pagi itu. Dalam selarik kertas kutuliskan “embun fajar”.
Fajar adalah pertanda bahwa satu lagi hari yang sulit telah terlewati.
sinarnya yang memecah gelap selalu dinanti
begitu juga dengan embun
meski harus ada untuk sirna ketika tiba yang dicintainya, ia tak mengapa
begitulah caranya mencinta
                Aku meresapi betul-betul hangat mentari yang menyusup keseluruh tubuh. Ini akan menjadi sajak terakhir tentang embun dan fajar yang tidak ditakdirkan untuk bersama.
***

               

               
               


Related Posts:

0 comments: