Minggu, 15 Mei 2016

Indonesia Galakkan Budaya Berliterasi




Foto : Google.com
Indonesia sudah dapat mengatasi buta aksaranya, namun sadarkah kita bahwa indonesia masihlah buta makna. Layaknya seorang anak yang sudah bisa membaca namun tak paham arti dari sebuah bacaan yang dibacanya, jadi tidak mengherankan jika Perpustakaan, toko buku, penerbit dan penulis di Indonesia tidak berkembang. Terlebih lagi memang masyarakat indonesia merupakan bangsa oral, atau bangsa yang  cenderung pada penuturan daripada membaca.
Menurut survei Indonesia berada diperingkat terendah membaca se Asia. Dan itu berlaku bagi seluruh masyarakat, dalam segala kalanga, akademisi, pekerja, pelajar, maupun pegawai. Dan rata-rata pelajar indonesia membaca buku dibawah 1 jam perhari, bagaimana pula dengan masyarakat awam perharinya, bisa saja tidak pernah meluangkan membaca barang semenit setiap harinya.
Data ini perkuat oleh laporan Bank Dunia Nomor 16369-IND, dan studi IEA (International Association for the Evaluation of Education Achicievement) di Asia Timur, tingkat terendah membaca dipegang oleh negara Indonesia dengan skor 51,7, di bawah Filipina (skor 52,6), Thailand ( skor 65,1), Singapura (skor 74,0), dan Hongkong  (skor 75,5). Bukan itu saja, kemampuan orang Indonesia dalam menguasai bahan bacaan juga rendah, hanya 30 persen. Data lain juga menyebutkan (UNDP) dalam Human Report 2000, bahwa angka melek huruf orang dewasa Indonesia hanya 65,5 persen. Sedangkan Malaysia sudah mencapai 86,4 persen, dan negara-negara maju seperti Jepang, Inggris, Jerman, dan Amerika Serikat umunya sudah mencapai 99,0 persen (Ben S. Galus; 2011).
Rendahnya budaya baca masyarakat Indonesia ini bisa dilihat dari jumlah buku baru yang terbit di negeri ini, yaitu hanya sekitar 8.000 judul/tahun. Bandingkan dengan Malaysia yang menerbitkan 15.000 judul/tahun, Vietnam 45.000 judul/tahun, sedangkan Inggris menerbitkan 100.000 judul/tahun. Kesenjangan budaya baca ini akan semikin terlihat kalau dibandingkan dengan Jepang. Menurut kalangan pers Jepang, tiras koran yang beredar setiap hari mencapai 60 juta. Padahal penduduk Jepang hanya 125,6 juta. Di Jepang rata-rata pembaca koran 1:2 sampai 1:3. Artinya, tiap dua atau tiga penduduk, satu diantaranya baca koran. Mungkin tiap rumah di Jepang berlangganan satau sampai dua Koran, sehingga tidak heran banyak mempengaruhi hidup mereka dalam banyak aspek, seperti cultural, ilmiah, sosial, ekonomis, demokratis, dan kreativitas individu.

Hal ini masih bisa ditoleransi mengingat saat ini Indonesia masih dalam masa transisi, dari masyarakat yang tahu membaca menuju masyarakat yang paham aksara.  Masyarakat tahu aksara adalah hasil dari program berantas buta aksarayang dicanangkan sejak beberapa tahun silam. Saat ini masyarakat indonesia tidak lagi bergelut dengan ketidak tahuan, namun ketidak pahaman, betapa bergunanya mencintai literasi dan manfaat membaca bagi diri sendiri, apalagi dengan adanya teknologi-teknologi baru yang lebih canggih dan menyenangkan, eksistensi buku kembali meredup dikalangan masyarakat, keberadaan buku yang belum sepenuh disadari peran seutuhnya di Indonesia hampir keseluruhannya sudah digantikan oleh gadget. Dapat kita saksikan sendiri, bagaimana populernya piranti lunak itu di angkutan umum, sekolah-sekolah dan tempat umum.
Dan mengubah paham itu bukanlah perkara yang bisa berubah dalam setahun dua tahun, namun dalam kurun waktu yang panjang dan secara perlahan-lahan. Saat ini pemerintah juga sudah mulai menggalakkan Budaya literasi kemasyarakat-masyakarakat dibeberapa daerah, besar harapan kita bahwa program penggalakan budaya literasi ini akhirnya berbuah manis, seperti program berantas buta aksara yang telah suskes memberantas buta aksara di Indonesia.



0 comments: