![]() |
Pexels.com |
Penulis : Safitri
Adriani Nasution
Perkembangan
berita hoaks atau berita bohong kian hari semakin mewabah seiring dengan
perkembangan teknologi digital yang menyediakan segala kemudahan untuk menembus
berbagai kalangan dalam mengakses
informasi dari penjuru dunia, media sosial juga memainkan peran yang vital
dimana budaya berbagi informasi menyebabkan laju peredaran berita hoaks menjadi
sulit untuk dibendung padahal menurut dewan pers berita hoaks pertama kali
muncul di Indonesia pada tahun 2014, hanya sekitar 3 tahun sejak bibit berita
hoaks itu tumbuh disaat pilpres dan berkembang seperti virus.
Survey
teranyar yang dilakukan APJII (Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia) sepanjang
2016 menemukan 132,7 juta orang Indoneisa telah menjadi pengguna internet aktif
dengan total penduduk Indonesia sebanyak 256,2 juta orang. Ini membuat
penyebaran berita melalui internet sangat cepat namun tidak tersaring dengan
baik. Termasuk berita dan foto palsu atau hoaks hal ini didukung dari tautan
turnbackhoax.id yang dilansir kompas (Selasa 7 Februari 2017), laman tersebut
menerima aduan informasi bohong, fitnah, dan hasutan sebanyak 1.656 terhitung
dari 1 Januari hingga 2 Februari ditahun 2017.
Jurnalis
yang sadar akan fenomena menjamurnya berita hoaks dan penyebarannya yang tidak
terkendali ini tentunya tidak bisa tinggal diam, merasa krediblitasnya
diragukan para wartawan media online di Indonesia kemudian membentuk AMSI
(Asosiasi Media Siber Indonesia) yang Dewan Pers harapkan kelak akan dapat menjadi
verifikator untuk anggotanya, seperti pernyataan Ketua Dewan Pers sendiri Yosep
Adi Prasetyo pada deklarasi AMSI di Jakarta 18 April lalu. Yang menjadi
persoalan saat ini adalah yang terverifikasi atau yang telah mendaftarkan diri sampai
tanggal 17 April lalu hanya 174 media siber dari total 4.700 media siber di
Indonesia ada sekitar 4.233 media siber yang belum tersertifikasi dan
terverifikasi. Artinya hanya ada 1 persen yang tersertifikasi dan terverifikasi
berdasarkan data terbaru dari Menteri Komunikasi dan Informasi, Rudiantara.
Tidak
bisa kita pungkiri media siber di Indonesia hanya sedikit yang dapat dipercaya
keakuratan, dan kebenaran fakta dan datanya. Mengharapkan pergerakan AMSI untuk
membantu kerja Menteri Komunikasi dan Informasi dalam hal memberantas hoaks
bukanlah tidak mungkin namun seiring berkembangnya jaman dan gaya hidup
hedonisme masyarakat yang dinamis belum lagi salah satu sifat berita hoaks
adalah mati satu tumbuh seribu juga ikut menyertai pertumbuhan pengguna
internet yang kurang dibarengi dengan kesadaran berinternet sehat, apalagi
budaya masyarakat indonesia yang memang suka menyebarkan info terkini agar
dianggap eksis atau motif-motif lain yang lumrah dikalangan mereka, seperti
euforia BC ( Broadcast) dimedia
sosial ataupun aplikasi chat.
Layaknya virus
penyebaran berita hoaks memang sangat cepat, sekali terlontar keluar maka akan
banyak pengikut-pengikut baik itu dilatar belakangi keuntungan bisnis,
propaganda, atau bisa saja memang kebijakan media sendiri. Berangkat dari latar
belakang tersebut dapat dilihat bahwa ketiganya erat dengan gaya hidup
masyarakat dan tuntutan zaman. Tidak salah jika masyarakat mengharapkan agar hoaks
dapat diberantas namun pemberantasannya tidak semudah membalikkan telapak
tangan. Perlu waktu yang lama jika membebankan kepada pihak Kementrian
Informasi dan Komunikasi, pergerakan AMSI dan aparat apalagi jika tidak
dibarengi dengan kecerdasan masyarakat dalam bermedia.
Belakangan kita
lihat muncul gerakan masyarakat anti hoaks. Gerakan masyarakat anti hoaks
tersebut merupakan wujud kesadaran akan pentingnya pemberantasan hoaks, namun
gerakan tersebut hanyalah menjadi omong kosong belaka jika masyarakatnya sendiri
tidak mampu mengenali, menganalisa dengan cermat pemberitaan media online.
Artinya
dibutuhkan suatu pemberantasan langsung dari akarnya, sebab pemberantasan
melalui pemblokiran, pengaduan, tindakan pidana yang melibatkan UU ITE
(Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik) hanya berupa pemberantasan
jangka pendek, setelah gugur akan tumbuh bibit-bibit baru. Oleh karena itu
dibutuhkan anti virus untuk menangkal semua berita-berita hoaks yang masuk,
salah satunya adalah pendidikan Literasi digital. Literasi sendiri berarti melek huruf yang berasal dari kata
literer, artinya kemampuan seseorang untuk tak sekedar membaca saja namun juga
memahami, menulis, mengurai dan mengidentifikasi suatu masalah jika dipadukan
dengan digital berarti kemampuan seseorang untuk menganalisis, memahami,
menulis dan mengidentifikasi suatu berita yang disuguhkan oleh teknologi media
massa atau media online.
“Literasi adalah kemampuan untuk memahami dan menggunakan
informasi dalam banyak format dari berbagai sumber ketika itu disajikan melalui
komputer,” ungkap Paul Gilster (2007) salah satu tokoh yang mempopulerkan
istilah ini.
Bayangkan jika pengguna internet aktif melek literasi digital. Seberapa pun berita
hoaks yang dikeluarkan media-media tidak bertanggung jawab pastinya tidak akan
di terima mentah-mentah oleh masyarakat. melainkan lebih waspada dengan melakukan analisis
terhadap setiap pemberitaan yang masuk alhasil produksi berita hoaks beserta
penyebarannya akan dapat ditekan. Tidak seperti kebanyakan masyarakat kita saat
ini yang berlomba-lomba membagikan berita padahal si individu sendiri belum
membacanya sampai tuntas, konon lagi menganalisis sumber berita dan embel-embel
karakteristik berita hoaks.
Oleh karena itu, sangat dibutuhkan pemahaman literasi
digital bagi masyarakat. Meskipun tidak sepenuhnya mati, pemberitaan online
seperti itu tidak akan menimbulkan dampak besar sampai ketahap merusak bahkan
perlahan-lahan akan menunjukkan perubahan yang lebih baik.
Pakar Ilmu
Komunikasi dari Universitas Hassanuddin Makassar Syamsudin Aziz MPhil. PhD
sendiri menyatakan salah satu upaya antisipasi pemerintah dalam jangka panjang
adalah memasukkan wawasan bermedia kedalam kurikulum pendidikan disekolah.
Pemahaman
dalam literasi digital tanpa kita sadari juga akan memberikan keuntungan bagi
masyarakat, bayangkan jika saja pihak-pihak yang difitnah oleh media tersebut
kelak adalah diri kita. Tentunya kita tidak mau kasus Indomaret dan Sari Roti
terulang untuk kedua kalinya, hanya karena tidak adanya antisipasi dalam menghadapi
berita hoaks sementara keinginan untuk
terus eksis tidak terbendung.
1 comments:
Waah ini ya untuk seleksi BJW itu. lumayanlah
Posting Komentar