Senin, 15 Mei 2017

Literasi Digital, Solusi Penyebaran Berita Hoaks

Pexels.com
Penulis : Safitri Adriani Nasution
Perkembangan berita hoaks atau berita bohong kian hari semakin mewabah seiring dengan perkembangan teknologi digital yang menyediakan segala kemudahan untuk menembus berbagai kalangan dalam  mengakses informasi dari penjuru dunia, media sosial juga memainkan peran yang vital dimana budaya berbagi informasi menyebabkan laju peredaran berita hoaks menjadi sulit untuk dibendung padahal menurut dewan pers berita hoaks pertama kali muncul di Indonesia pada tahun 2014, hanya sekitar 3 tahun sejak bibit berita hoaks itu tumbuh disaat pilpres dan berkembang seperti virus.
            Survey teranyar yang dilakukan APJII (Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia) sepanjang 2016 menemukan 132,7 juta orang Indoneisa telah menjadi pengguna internet aktif dengan total penduduk Indonesia sebanyak 256,2 juta orang. Ini membuat penyebaran berita melalui internet sangat cepat namun tidak tersaring dengan baik. Termasuk berita dan foto palsu atau hoaks hal ini didukung dari tautan turnbackhoax.id yang dilansir kompas (Selasa 7 Februari 2017), laman tersebut menerima aduan informasi bohong, fitnah, dan hasutan sebanyak 1.656 terhitung dari 1 Januari hingga 2 Februari ditahun 2017.
            Jurnalis yang sadar akan fenomena menjamurnya berita hoaks dan penyebarannya yang tidak terkendali ini tentunya tidak bisa tinggal diam, merasa krediblitasnya diragukan para wartawan media online di Indonesia kemudian membentuk AMSI (Asosiasi Media Siber Indonesia) yang  Dewan Pers harapkan kelak akan dapat menjadi verifikator untuk anggotanya, seperti pernyataan Ketua Dewan Pers sendiri Yosep Adi Prasetyo pada deklarasi AMSI di Jakarta 18 April lalu. Yang menjadi persoalan saat ini adalah yang terverifikasi atau yang telah mendaftarkan diri sampai tanggal 17 April lalu hanya 174 media siber dari total 4.700 media siber di Indonesia ada sekitar 4.233 media siber yang belum tersertifikasi dan terverifikasi. Artinya hanya ada 1 persen yang tersertifikasi dan terverifikasi berdasarkan data terbaru dari Menteri Komunikasi dan Informasi, Rudiantara.
            Tidak bisa kita pungkiri media siber di Indonesia hanya sedikit yang dapat dipercaya keakuratan, dan kebenaran fakta dan datanya. Mengharapkan pergerakan AMSI untuk membantu kerja Menteri Komunikasi dan Informasi dalam hal memberantas hoaks bukanlah tidak mungkin namun seiring berkembangnya jaman dan gaya hidup hedonisme masyarakat yang dinamis belum lagi salah satu sifat berita hoaks adalah mati satu tumbuh seribu juga ikut menyertai pertumbuhan pengguna internet yang kurang dibarengi dengan kesadaran berinternet sehat, apalagi budaya masyarakat indonesia yang memang suka menyebarkan info terkini agar dianggap eksis atau motif-motif lain yang lumrah dikalangan mereka, seperti euforia BC ( Broadcast) dimedia sosial ataupun aplikasi chat.
Layaknya virus penyebaran berita hoaks memang sangat cepat, sekali terlontar keluar maka akan banyak pengikut-pengikut baik itu dilatar belakangi keuntungan bisnis, propaganda, atau bisa saja memang kebijakan media sendiri. Berangkat dari latar belakang tersebut dapat dilihat bahwa ketiganya erat dengan gaya hidup masyarakat dan tuntutan zaman. Tidak salah jika masyarakat mengharapkan agar hoaks dapat diberantas namun pemberantasannya tidak semudah membalikkan telapak tangan. Perlu waktu yang lama jika membebankan kepada pihak Kementrian Informasi dan Komunikasi, pergerakan AMSI dan aparat apalagi jika tidak dibarengi dengan kecerdasan masyarakat dalam bermedia.
Belakangan kita lihat muncul gerakan masyarakat anti hoaks. Gerakan masyarakat anti hoaks tersebut merupakan wujud kesadaran akan pentingnya pemberantasan hoaks, namun gerakan tersebut hanyalah menjadi omong kosong belaka jika masyarakatnya sendiri tidak mampu mengenali, menganalisa dengan cermat pemberitaan media online.
Artinya dibutuhkan suatu pemberantasan langsung dari akarnya, sebab pemberantasan melalui pemblokiran, pengaduan, tindakan pidana yang melibatkan UU ITE (Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik) hanya berupa pemberantasan jangka pendek, setelah gugur akan tumbuh bibit-bibit baru. Oleh karena itu dibutuhkan anti virus untuk menangkal semua berita-berita hoaks yang masuk, salah satunya adalah pendidikan Literasi digital. Literasi sendiri berarti melek huruf yang berasal dari kata literer, artinya kemampuan seseorang untuk tak sekedar membaca saja namun juga memahami, menulis, mengurai dan mengidentifikasi suatu masalah jika dipadukan dengan digital berarti kemampuan seseorang untuk menganalisis, memahami, menulis dan mengidentifikasi suatu berita yang disuguhkan oleh teknologi media massa atau media online.
“Literasi adalah kemampuan untuk memahami dan menggunakan informasi dalam banyak format dari berbagai sumber ketika itu disajikan melalui komputer,” ungkap Paul Gilster (2007) salah satu tokoh yang mempopulerkan istilah ini.
Bayangkan jika pengguna internet aktif  melek literasi digital. Seberapa pun berita hoaks yang dikeluarkan media-media tidak bertanggung jawab pastinya tidak akan di terima mentah-mentah oleh masyarakat. melainkan  lebih waspada dengan melakukan analisis terhadap setiap pemberitaan yang masuk alhasil produksi berita hoaks beserta penyebarannya akan dapat ditekan. Tidak seperti kebanyakan masyarakat kita saat ini yang berlomba-lomba membagikan berita padahal si individu sendiri belum membacanya sampai tuntas, konon lagi menganalisis sumber berita dan embel-embel karakteristik berita hoaks.
Oleh karena itu, sangat dibutuhkan pemahaman literasi digital bagi masyarakat. Meskipun tidak sepenuhnya mati, pemberitaan online seperti itu tidak akan menimbulkan dampak besar sampai ketahap merusak bahkan perlahan-lahan akan menunjukkan perubahan yang lebih baik.
Pakar Ilmu Komunikasi dari Universitas Hassanuddin Makassar Syamsudin Aziz MPhil. PhD sendiri menyatakan salah satu upaya antisipasi pemerintah dalam jangka panjang adalah memasukkan wawasan bermedia kedalam kurikulum pendidikan disekolah.

            Pemahaman dalam literasi digital tanpa kita sadari juga akan memberikan keuntungan bagi masyarakat, bayangkan jika saja pihak-pihak yang difitnah oleh media tersebut kelak adalah diri kita. Tentunya kita tidak mau kasus Indomaret dan Sari Roti terulang untuk kedua kalinya, hanya karena tidak adanya antisipasi dalam menghadapi berita hoaks  sementara keinginan untuk terus eksis tidak terbendung.

1 comments:

Atika Winari Putri mengatakan...

Waah ini ya untuk seleksi BJW itu. lumayanlah